Jumat, 28 Desember 2007

article terorisme...

Paradise Now,1 Antara Jihad dan Terorisme:

Interpretasi Terhadap Kasus Suicide Bombing di Indonesia

M i s k i


Prolog

Agama dewasa ini tampil dengan sosok yang menakutkan, aksi-aksi kekerasan kerap kali terjadi atas nama agama. Juergensmeyer menyatakan agama berperan besar memberikan motivasi dan justifikasi terhadap aksi-aksi kekerasan yang selama ini terjadi.2 Misalnya saja, konflik abadi antar agama, apa yang kita sebut dengan neverending-conflict, antara Israel dan Palestina, serangkaian bom bunuh diri di Israel yang juga tak jarang menewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syari'at Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an). Puncaknya adalah serangan terorisme ke WTC 11 September di Amerika Serikat yang menewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa; bom Bali yang mewaskan lebih dari 180 orang; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya.

Namun, Sejak serangan 11 September 2001, opini dunia memberikan kesan bahwa konotasi teroris itu adalah Islam fundamentalis,3 opini dunia didominasi oleh Amerika Serikat. Pemberian nama (labelling) teroris kepada kelompok Islam tertentu semakin kuat dan meluas sehubungan dengan tuduhan kepada jaringan al-Qaeda adalah jaringan teroris internasional yang terdapat di seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia.4 Dengan ini tampak jelas apa yang dikatakan oleh Samuel Huntington dengan istilah the clash of civilization, istilah ini bukan saja membangkitkan semangat perang salib baru antara Islam dan Barat, akan tetapi juga menimbulkan kebingungan, siapa sebenarnya yang disebut teroris?.

Tuduhan pada kelompok Islam ini menjadikan cap yang tidak baik bagi umat Islam. Seakan penggunaan kekerasan dengan cara menakut-nakuti orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu merupakan suatu hal yang lekat dengan Islam. Terhadap tuduhan ini setidaknya ada tiga kalangan yang menanggapinya; Pertama, membenarkan dan memahami tuduhan itu mengingat perangai sebagian umat Islam yang tidak amat toleran dengan produk pemikiran, wacana dan kebudayaan yang tidak bersumber pada teks suci Islam secara tekstual. Kedua, menolak keras tuduhan itu, mengingat tuduhan itu belum disertai dengan bukti yang kuat dan dianggap hanya upaya memojokkan umat Islam. Ketiga, meminta kepada Amerika agar tidak mengeneralisasi bahwa Islam tidak identik dengan teroris, karena banyak sekali umat Islam yang memiliki faham moderat.5

Islam dan terorisme jelas tidak ada kaitannya, menurut Azyumardi Azra, ia mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan etos kemanusiaan universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan dan kehormatan, akan tetapi perjuangan itu haruslah tidak dengan cara-cara kekerasan atau terorisme.6 Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang mengajarkan dan menjustifikasi kepada muslim untuk berperang (harb) dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas dan musuh-musuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap permusuhan atau tidak mao berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin.7

Hemat penulis, istilah teror dan terorisme lebih punya kaitan erat dengan kegiatan intelijen. Lembaga-lembaga intelijen termashur seperti Mossad (Israel), CIA (AS), MI-6 (Inggris), dan dulu KGB (Uni Sovyet), punya taktik dan strategi menciptakan gerakan-gerakan intelejen dan kontra-intelijen dalam berbagai cara. Termasuk teror dan kontrateror. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi, diasosiasikan dengan jihad dalam Islam, Jihad sering disamakan dengan holy war (perang suci) dalam konteks kristen Eropa; perang melawan orang kafir, yang lebih parah lagi adalah pengkaburan makna jihad yang banyak dan beragam itu, jihad selalu diartikan sebuah konfrontasi fisik. Tentu saja, secara politis ada political interest untuk mendiskreditkan kelompok agama tertentu.

Di Indonesia, istilah teror dan terorisme dikaitkan dengan produk pendidikan pesantren,8 tentu saja tuduhan itu ditolak oleh kalangan masyarakat pesantren. Pesantren memang memiliki sejarah kuat dan panjang dalam angkat senjata melawan kolonialis-imperialis Belanda (juga Jepang), sejak awal abad 16 hingga penghujung abad 19. Santri dan kiai mengganti kitab dengan senjata. Mereka menggemakan jihad fi sabilillah dalam artian melawan kezaliman dan kejahatan penjajah.9 Maka, terlalu riskan menyebutkan pesantren sebagai lembaga pendididkan dalam menciptakan teror dan terorisme di Indonesia, sebab tidak ada kitab-kitab pesantren yang mengajarkan cara merakit bom, cara menggalang pasukan, cara melatih diri (i'dad) menghadapi jihadul qitaal. Dan jika ada alumni pesantren terkait dengan tindakan terorisme, itu jelas di luar pesantren. Sehingga tak dapat mengait-ngaitkan pesantren yang pernah dijadikan tempat belajar seseorang tersangka pelaku teror.

Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kawanan teroris Dr. Azhari dalam lima tahun terakhir ini, selalu berakar pada konsep ”jihad” dalam Islam. Dimulai dari Bom Bali jilid I 12 Oktober 2002 yang menewaskan ratusan nyawa; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya, sampai yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus bom bunuh diri (suicide bombing) dalam Bom Bali jilid II, sekaligus deretan pemboman lain, kasus-kasus penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain (the others) kerap kali terjadi. Inilah problem ketika agama dijadikan legetimasi sebuah kepentingan kelompok agama tertentu, dan ketika jihad dimaknai sebagai sikap ofensif dengan dalih mendapatkan balasan sorga, maka sesungguhnya yang terjadi adalah krisis wacana keagamaan, bahkan krisis nurani kemanusiaan.

Dengan latar belakang realita diatas, tulisan ini akan menganalisis kasus Suicide Bombing (bom bunuh diri) yang merupakan era baru terorisme di Indonesia, apakah hal tersebut merupakan jihad atau terorisme?, bagaimana sebenarnya konsep jihad dalam Islam, dan bagaimana pandangan Islam terhadap terorisme, apakah terorisme sama dengan jihad?. Untuk membahas labih lanjut penulis menggunakan pendekatan teologis-sosiologis, yakni bagaimana doktrin agama tentang jihad, serta bagaimana aspek-aspek sosiologis praktek kekerasan yang sering kali mengatasnamakan agama, yang dalam bahasa Barat merupakan aksi terorisme.


Suicide Bombing: Era Baru Terorisme di Indonesia

Peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta (2004), semakin mempertegas kenyataan bahwa era bom bunuh diri benar-benar tidak hanya lahir, tetapi ada dan hidup di Indonesia. Heri Kurniawan atau Heri Golun adalah pelaku peledakan bom bunuh diri di depan Kedubes Australia. Ada yang berpendapat bahwa sebenarnya era bom bunuh diri di Indonesia dimulai dengan peledakan bom di Kuta, Bali (2002). Tetapi, hal itu masih samar-samar atau terkesan ”diingkari” untuk diakui karena berbagai alasan. Kemudian baru-baru ini terjadi Tragedi peledakan bom di R.AJA’s Bar and Restaurant di Kuta Square dan Jimbaran Bali, telah mengajak banyak pihak memasuki sebuah kenyataan bahwa memang bom bunuh diri benar-benar sudah lahir di Indonesia. Ini sebuah kenyataan yang tidak mungkin dimungkiri atau ditutupi lagi.

Bunuh diri (bahasa Inggrisnya suicide yang berasal dari bahasa Latin sui caedere, yang juga berarti bunuh diri) adalah sebuah tindakan mengakhiri hidup dirinya sendiri. Agama apa pun memandang tindakan itu adalah sebuah dosa dan bila dilihat dari kacamata hukum adalah sebuah kejahatan. Akan tetapi, beberapa budaya memandang tindakan itu sebagai cara terhormat untuk keluar dari situasi yang tanpa pengharapan atau memalukan.

Kematian menjadi komponen dan tujuan utama dari tindakan bunuh diri dan bukannya hanya merupakan konsekuensi yang hampir pasti. Karena itu, peledakan bom bunuh diri lebih dipandang sebagai peledakan bom ketimbang bunuh diri. Itulah sebabnya, ada yang menganggap dan bahkan berkeyakinan bahwa aksi peledakan bom bunuh diri adalah sebuah pengorbanan diri, sebuah kematian suci.

Masuk kategori apa peledakan bom bunuh diri di Indonesia? Apakah mereka memperjuangkan lahirnya sebuah negara baru, seperti di Palestina atau Sri Lanka? Negara apa yang mereka perjuangkan? Bukankah sudah ada Negara Kesatuan Republik Indonesia?! Apakah aksi itu perwujudan balas dendam? Balas dendam kepada siapa? Apakah bagian dari permainan politik? Kepentingan politik siapa dan ditujukan kepada siapa? Apakah aksi itu bermisikan kepentingan agama? Yang dapat dikategorikan sebagai jihad?.


Isu Terorisme: Sebuah Hegemoni Politik Amerika

Istilah teror dan terorisme merupakan dua istilah yang berbeda, tetapi sebenarnya berasal dari Yunani yang sama yaitu terror dan terrere yang artinya ketakutan mendalam. Namun jika dilihat dari motode kekerasan, kedua istilah tersebut dibedakan pengertiannya. Aksi teror merupakan aktifitas bercorak spontan dan tidak terorganisir rapi dan cendrung bersifat perorangan. Sebaliknya terorisme bersifat sistematis, terorganisir rapi dilakukan oleh sebuah organisasi atau kelompok sebagai pelaku dari aktifitas teror tersebut. Tidak semua bentuk teror dapat disebut sebagai terorisme. Menurut Richard Bagun, terorisme adalah puncak aksi kekerasan (terrorism is the apex violence).10 Menurut Ensyclopaedia of Crime and Justice, terorisme adalah ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik oleh perorangan atau kelompok, dimana tindakan itu menentang terhadap kekuasaan pemerintah, ditujukan untuk menimbulkan intimidasi ketimbang menimbulkan korban dengan segera.11 Sedangkan Dam Smith mengatakan, terorisme adalah penggunaan kekerasan yang melawan hukum atau ancaman kekerasan yang melawan hukum, dengan tujuan untuk memaksa dan mengintimidasi pemerintah atau kelompok sosial tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang umumnya adalah tujuan politik, agama, atau ideologi.12

Pengertian terorisme pada mulanya adalah tindakan kekerasan disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa (baca: Amerika Serikat) terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok kecil. Makanya, sulit untuk menyetujui definisi umum terhadap bentuk kekerasan bermotivasi politik yang secara umum dikenal dengan terorisme, karena masing-masing situasi harus dilihat dalam konteksnya sendiri, dan juga sering dikatakan untuk memahami terorisme harus dipahami pula apa yang terjadi, pada siapa, dimana, bagaimana, mengapa dan dengan momentum apa serta efeknya.13

Sejak aksi terorisme 11 September 2001 yang meruntuhkan dua menara kembar, WTC dan Pentangon, dan dugaan Osama bin Laden berada dibalik aksi itu, maka struktur politik masyarakat internasional berubah dramatis, setidaknya ada dua gambaran yang "terbaca" dalam wacana yang berkembang di masyarakat internasional, Pertama, radikalisme dan terorisme yang dialamatkan masyarakat barat terhadap umat Islam. Kedua, gerakan terorisme yang diwakili masyarakat barat terus menjadi pemicu lahirnya resistensi kaum radikalis lantaran sikap nagara adidaya dan PBB yang tidak peduli terhadap keadilan yang terus berlangsung.14

Perang melawan terorisme-pun kerap kali dilancarkan oleh Amerika Serikat, terorisme sebagai isu politik, lebih dipergunakan sebagai usaha untuk memperoleh dukungan Negara-negara Barat untuk menempatkan citra negatif Islam.15 Amerika Serikat sekehendak hati menuduh dan menekan negara-negara yang dianggap memiliki potensi terorisme. Pernyataan George W. Bush, ”ether you are with us, or you are with terrorist” memposisikan negara berpenduduk Muslim pada kondisi yang dilematis.

Sebagian umat Islam memandang salah satu cara yang strategis untuk melumpuhkan Hegemoni Amerika dan Barat adalah dengan cara melakukan tindakan terorisme. Kegagalan sistem global ini akibat permainan negara kapitalis yang secara struktur dan sitem memiskinkan dunia ketiga termasuk dunia Islam. Lagi pula secara nyata dapat dilihat bagaimana permainan licik Amerika dan Barat dalam melakukan neo imperialisme dan konolialisme. Perbaikan sistem pada wilayah periferal tidak akan berhasil. Karena kebangkrutan dan ketidakadilan yang dialami hanya sebagai imbas permainan global. Maka langkah stretegis sdalah mengacaukan sumber sekenariator global dalam hal ini Amerika melalui simbol ekonomi dan kebesarannya. Dengan Alasan ini apakah tidak boleh melakukan kekerasan dalam mencapai kemakmuran dan keadilan. Korban terorisme tidak sebanding dengan korban kemiskinan, ketertidasan dan ketidak adilan dalam jangka yang panjang.

------------yuuyui6

Memahami Jihad dalam Islam

Kata jihad secara etemologi berasal dari kata: جاهد- يجاهد-مجاهدة-وجهادا yaitu mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perkataan dan tindakan.16 Dan juga berasal dari kata: جهد-يجهد-جهدا atau اجتهد yang mempunyai makna bersungguh-sungguh.17 Selain itu term الجهد berarti الطاقة dan المشقة yang bermakna kekuatan, kemampuan dan kesulitan, kepayahan disebabkan setiap orang yang berjihad harus melawan musuh dengan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan dan membela diri.18

Sedangkan jihad secara terminologi, sebagaimana dijelaskan oleh ulama’-ulama’ mazhab fiqh, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, antara lain: Pertama, Mazhab Hanafi dalam Fathu al-Qadir, juz 5/187, Ibnu Hamam mengatakan yang dimaksud dengan jihad adalah mengajak orang kafir kedalam pelukan Islam dan memeranginya jika mereka menolak. Kedua, Mazhab Hanbali, makna jihad diperuntukkan kepada orang-orang muslim yang memerangi orang-orang kafir yang tidak terikat dalam perjanjian (damai) demi menegakkan ajaran Allah SWT. Jihad juga berarti datangnya orang Islam kepada orang kafir untuk mengajak mereka memeluk agama Allah atau masuknya orang Islam ke daerah kafir untuk tujuan serupa.19 Ketiga, Mazhab Syafi’i, Syafi’i mengatakan, jihad adalah berperang di jalan Allah.20 Selain itu Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa ditinjau dari hukum syara’ jihad berarti mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.21 Keempat, Mazhab Hanbali, jihad adalah memerangi orang kafir (Lih. Mathalib uli an-Nuha, juz 2, hlm. 497).

Sedangkan jihad menurut Abu al-’Ala al-Maududi, adalah salah satu sistem kerohanian Islam yang lima, sholat, puasa, zakat, haji, dan jihad. Jihad adalah usaha manusia muslim dengan sekuat tenaga untuk meneyebarluaskan kalimatullah dan menjunjung tinggi, dan melaksanakannya di muka bumi dengan menyingkirkan segala perintang, baik melalui kata-kata yang terucap (lisan), maupun dengan kekuatan senjata, dengan tujuan agar manusia hidup dengan penuh dedikasi dan berkorban demi jiwa dan raga.22

Dari beberapa pengertian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jihad mengandung dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian umum sebagaimana disebutkan diatas ditemukan dalam perjuangan Rosulullah priode Mekkah dan Madinah. Dalam al-Qur'an jihad seperti ini terdapat dalam surat antara lain: Q.S. al-Furqan:52, dan Q.S. al-Hajj: 78.

Jihad dalam pengertian khusus yaitu ”perang melawan musuh”. Pengertian khusus inilah yang dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqh dan selalu dikaitkan dengan qital (pertempuran), harb (peperangan),dan ghazwah (ekspedisi). Uraian-uraian figh tentang jihad disusun dalam rangka jus ad bellum atau jus in bello, perang adil atau perang suci, perang defensif atau ofensif, sebagian besar merupakan hasil dari usaha sistematisasi solusi-solusi pragmatis yang diambil pada masa Nabi dan kemudian tumbuh menjadi kodifikasi hukum yang rapi. Titik lemahnya terletak pada kegagalan menangkap regulasi moral yang non-contingent seolah-olah variabel atau kriteria yang paling krusial dibalik jihad adalah mandat ilahi untuk melancarkan peperangan.23

Kata jihad dalam al-Qur'an disebutkan sebanyak 43 kali, antara lain: QS. Al-Baqarah: 198, 190, 191, 192, 218, 273. QS. Ali 'Imran: 142, 156. QS. An-Nisa': 74, 95, 96. QS. Al-Maidah: 35, 54. QS. Al-Anfal: 61, 65, 72, 74, 75. QS. At-Taubah: 19, 20, 24, 41, 44, 81, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93. QS. An-Nahl: 110, QS. Al-Hajj: 78. QS. Al-Furqan: 52. QS. Al-Qashash: 6. QS. Al-Hujurat: 15. QS. Al-Mumtahanah: 1. QS. Al-Shaf: 11.24 Kata jihad dalam al-Qur'an diartikan secara beragam sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat diatas, dengan ini menunjukkan kata jihad tidak bisa hanya hanya diartikan dengan satu pengertian saja.

Jihad merupakan kewajiban bagi umat muslim.25 Namun kewajiban jihad tersebut sudah diatur tahapan-tahapannya dalam al-Qur'an, sehingga umat Islam dalam melaksanakan jihad harus mengikuti apa yang telah diatur dalam al-Qur'an, sebab dikhawatirkan apabila tidak mengikuti aturan dalam al-Qur'an, umat Islam akan melampaui batas, inilah kemudian yang menjadi persolan antara jihad dan aksi terorisme di zaman modern sekarang ini, adapun fase-fase berjihad antara lain:

Fase pertama, pada masa awal kebangkitan Islam Allah swt. memerintahkan untuk menahan diri untuk tidak melancarkan peperangan dengan orang kafir. Pada waktu itu umat Islam hanya diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan membayar zakat sebagaimana dijelasakan dalam QS. An-Nisa': 77. Fase pertama ini juga merupakan taktik dakwah Rasulullah, memberikan kesempatan pada orang-orang musyrik Mekkah agar mereka masuk Islam tanpa harus mengadakan peperangan.26

Fase kedua, memerangi orang yang berbuat zalim terhadap kaum muslimin, jihad dalam bentuk perang semacam ini sering disebut dengan defensif, dengan artian bahwa umat Islam dalam hal ini bukan yang memulai peperangan terlebih dahulu, atau umat Islam bukan pihak penyerang. Karena peperangan yang demikian merupakan sikap mempertahankan diri dari serangan musuh. Dan ini merupakan taktik peperangan untuk mempertahankan diri agar umat Islam tidak dibantai sewenang-wenang oleh orang kafir.27

Fase ketiga, fase ini Allah swt. Memerintahkan memerangi orang kafir dan melakukan penyerangan terhadap mereka. Sebagaimana perintah yang terdapat dalam QS. At-Taubah: 29. karena kezaliman yang terus dilakukan oleh orang kafir, serta sikap mereka yang masih mempertahankan sikap kekafirannya.


Terorisme dalam Pandangan Islam

Secara etemologi tindakan teror disebut dengan Irhab, orangnya disebut Irhaby (teroris), sedangkan pahamnya disebut Irhabiyyah (terorisme). Lafadz إرهاب dan إرهابيون / إرهابى dalam Bahasa Arab mempunyai makna terorisme.28 Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang berakar pada kata tersebut.29 Pengertian terorisme dalam konteks “islam” sebagaimana disampaikan oleh “Lembaga Fiqh Islam” di Makkah. Terorisme (al-irhab ) adalah permusuhan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara yang dhalim terhadap manusia. Bentuk terorisme juga mencakup ancaman, menakut-nakuti, pembunuhan tanpa hak, hal yang berkaitan dengan hirabah, mengganggu keamanan jalan raya dan aksi pembegalan (Qath` at-Tariq), terorisme mencakup semua tindak kekerasan, baik terhadap individu maupun kelompok dan bertujuan untuk mendatangkan rasa takut terhadap manusia atau menghalangi (mengganggu) kehidupan atau kehormatan, serta rasa aman mereka, termasuk diantaranya merusak lingkungan atau salah satu pelayanan umum atau milik masyarakat.30




Terorisme Bukanlah Jihad: Interpretasi terhadap Kasus-kasus Suicide Bombing di Indonesia

Ketika berbicara terorisme maka yang yang ada dibenak kita adalah sekelompok orang berjenggot, berpakaian jubah putih, kemana-mana membawa pedang, yang siap mati syahid dengan balasan sorga, dan selalu dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis, radikal, ekstrimis, dll. Ironisnya jihad pada zaman modern ini sering dihubungkan dengan terorisme, apa sebenarnya hubungan jihad dengan terorisme? Apakah jihad sebagai jus ad bellum, perang keadilan, bisa diterima dalam prinsip-prinsip jus in bello, hukum-hukum humaniter perang, atau batas-batas perang yang boleh dilakukan di masa kontemporer?31

Memang pengasosian jihad dengan terorisme di zaman sekarang ini, tidak lain disebabkan kenyataan bahwa jihad dalam pengertian perang melibatkan elemen-elemen kekerasan yang dapat dikategorisasikan sebagai terorisme.32 Pada tanggal 16 Desember 2003 MUI mengeluarkan fatwa, yang salah satu poinnya adalah fatwa tentang terorisme. MUI membedakan antara terorisme dengan jihad. Untuk memperjelas perbedaan itu, MUI membedakannya dengan menjelaskan tiga sisi penting: sifat, tujuan, dan cara. Untuk lebih mudah, lihat gambar berikut:33


Teror

Jihad

Sifat

Merusak dan Anarkis (al-Ifsad wa al-fawdha’).

Perbaikan (al-ishlah) sekalipun dilakukan dengan perang.

Tujuan

Menciptakan rasa takut dan menghancurkan pihak lain.

Menegakkan agama Allah atau membela pihak yang dizalimi.

Cara

Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.

Dilakukan dengan mengikuti aturan syari’at dengan sasaran musuh yang jelas.

Secara eksplisit MUI menolak kekerasan atas nama agama atau kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol Islam yang pada dasarnya merugikan umat Islam itu sendiri. MUI juga membedakan antara bom bunuh diri (qatl al-nafs/ suicide bombing) dengan syahid (istisyhadiyyah) dengan penjelasan sebagai berikut: Pertama, dari segi tujuan, bunuh diri dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri; sedangkan perbuatan istisyhad dilakukan untuk kepentingan agama dan umatnya. Kedua, dari segi sikap, pelaku bunuh diri bersikap pesimis, sedangkan pelaku istisyhad bersikap optimis dan cita-citanya untuk mengharapkan ridho Allah. Ketiga, dari segi hukum, bom bunuh diri dihukumi haram, sedangkan istisyhad adalah mubah (boleh).34

Isu terorisme yang dikumandangkan oleh Amerika serikat, adalah isu politis demi menguatkan ideologi kapitalisme ekonomi Amerika Serikat. Konfrontasi Amerika terhadap dunia Islam sehingga melahirkan spirit jihad di dunia Islam, inilah mungkin yang disebut terorisme oleh Amerika, akan tetapi Amerika juga dipandang sebagai teroris dengan membumi hanguskan Irak tanpa dasar yang jelas. Perang yang dilancarkan Amerika dengan alasan perdamaian dunia, dengan memberantas jaringan al-Qaeda yang menghancurkan Negara Afghanistan, membumi hanguskan Irak dengan alasan memerangi senjata nuklir yang mengakibatkan ribuan umat muslim mati, sekarang tuduhan tidak beralasan kepada Negara Islam Iran tentang senjata nuklir. Hemat penulis, sebenarnya terorisme di Indonesia terjadi disebabkan karena ketidak adilan Amerika terhadap Negara-negara muslim yang kemudian muncul rasa ukhuwah islamiyahnya.

Kekecewaan yang paling mendalam bagi sebagian umat muslim Indonesia adalah ketika terjadi pembantaian terhadap umat Islam di Poso, tidak mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia, sehingga menimbulkan balas dendam untuk dapat membunuh non muslim yang melahirkan aksi Istisyhadiyyah35. Aksi Istisyhadiyah di zaman modern ini biasanya dilakukan dengan cara bom mubil, bom bunuh diri (suicide bombing), menabrakkan kapal ke gedung bertingkat, dll.

Aksi semacam ini menimbulkan kontrovesial dikalangan ulama’, ada yang mengatakan aksi itu merupakan jihad melawan orang kafir dan ada juga yang mengatakan aksi bunuh diri merupakan dosa besar dan tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Dianatara ulama’ yang paling vokal menanggapi aksi istishadiyyah adalah ulama’ dan sarjana Islam Yordania, sekitar 27 orang menandatangani keputusan masalah ini. Nama-nama ulama’ tersebut diantaranya: Muhammad Abu Faris mantan anggota parlemen Yordanaia dari partai Ikhwanul Muslimin, Hammam Said pakar hadis yang juga anggota parlemen Yordania, Ahmad Naufal da’i kondang dan ahli tafsir, Salah al-Khalidi pakar ilmu al-Qur’an yang beberapa karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan Yusuf Qardawi, menjelaskan status aksi istisyhadiyyah yang dilakukan HAMAS merupakan jihad dan bukan tindakan bunuh diri yang sering diberitakan oleh media.36

Bolehnya aksi istishadiyah karena berdasarkan argumen mereka yang mengatakan bahwa aksi tersebut sudah dikenal sejak masa kenabian, terrefleksi pada keberanian menghadapi musuh dengan tujuan menghancurkan mereka dan memperoleh syahid fi sabilillah. Salah satunya adalah hadis nabi yang menjelaskan peristiwa pada perang Yamamah, ketika orang-orang bani Hanifah bertahan di benteng di kebun Musailamah yang dikenal dengan kebun ar-Rahman atau kebun kematian. Al-Barra bin Malik berkata kepada sahabat-sahabatnya, ”letakkan aku ditempat pelemparan biasanya memakai batu untuk diarahkan ke musuh dan lemparkan aku menuju sasaran, kemudian mereka melemparkannya, lalu ia menyerang musuh hingga terbuka pintu benteng tersebut untuk kaum muslimin.37

Dengan ini aksi istishadiyyah di Indonesia tidak bisa disamakan dengan aksi-aksi yang terjadi di Palestina umumnya di daerah Timur Tengah. Aksi disana lebih kepada ingin terlepas dari kezaliman dan ketidak adilan yang dilancarkan orang kafir, memperjuangkan hak-hak mereka agar tetap surviev dalam menegakkan syri’at Islam di daerah itu. Aksi-aksi bom yang dilakukan oleh kelompok Dr. Azhari tidak dapat dikatakan aksi Istishadiyyah, karena mereka melakukan aksi tersebut dalam kondisi damai, yang jadi sasaran bom mereka bukan tempat atau markas musuh melainkan tempat-tempat umum, hotel, kantor-kantor dan yang jadi korban adalah orang-orang yang tidak berdosa, seperti Satpam, anak kecil, ibu-ibu dan orang-orang yang tdak bersalah lainnya. Oleh karena itu aksi bom tersebut tidak tersebut mati syahid, sekalipun pelakunya mengklaim hal itu jihad.

Jadi, Jihad dan aksi bombing (teror) dua kalimat yang saling kontradiksi dan tidak akan ada titik temu antara keduanya apalagi diparalelkan. Disamping itu aksi bunuh diri (QS:4 : 29) dalam bentuk aksi teror atau membunuh orang lain (QS:17 :33) adalah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan juga melanggar hak azasi manusia. Dalam Islam jangankan membunuh orang, berbuat dharar (kurusakan) terhadap diri sendiri dan orang lain juga tidak boleh sebagai disebut dalam kaedah azas La dharara wa la dhirara yakni larangan berbuat apa saja yang membahayakan Agama Islam. Dari apa yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan bom bunuh diri di Indonesia ini bukanlah perbuatan jihad dengan balasan sorga, akan tetapi termasuk perbuatan teror yang mati bunuh diri balasannya neraka.




Epilog

Terorisme yang berjalan selama ini sering di identifikasikan sebagai implementasi perjuangan nilai keagamaan yang disebut dengan jihad. Jihad adalah sebuah prilaku yang sangat dianjurkan dalam agama. Perjuangan melawan kemungkaran dalam bentuk apapun harus diperjuangkan. Bentuk perjuangan jihad bisa dalam bentuk kekerasan sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam. Pengeboman wilayah tertentu yang menjadi simbol berkuasanya “mungkarat” merupakan salah satu kekerasan dalam jihad.

Namun yang menjadi Problem adalah, bagaimana kekerasan yang dilakukan bukan berdasarkan etika kemanusiaan. Kekerasan jihad yang berjalan dalam sejarah kenabian didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang mempertimbangkan kemanusiaan, semisal larangahn membunuh anak, perempuan dan orang tua. Sementara terorisme yang berjalan selama ini berjalan dalam konteks kekerasan diluar nilai etis dalam jihad. Pengeboman, ancaman dan perusakan lainnya tidak melakukan pembunuhan dan perusakan musuh yang secara nyata. Terkadang berefek pada pembunuhan pada manusia yang sebagian justru haram dibunuhnya. Seperti anak-anak, sesama muslim, orang tua dan wanita yang tidak berdosa. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa melakukan kekerasan dengan bentuk aksi terorisme yang selama ini berjalan, tidak dibenarkan dalam Islam. Untuk mencapai sebuah kemaslahatan haruslah digunakan cara-cara yang mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan. Tafsir sempit atas teks Agama sebagai alat pembenaran pada sebuah gerakan teroris, akan mereduksi makna Islam itu sendiri. Revisi tafsir lebih mengedepankan amalan agama yang bersifat Humanistik. Sehingga Islam bukan sebagai penghambat kedamaian tetapi sebagai instrumen dan pendorong semangat keadilan dan kedamaian sebagaiman tujuan global Islam yang rahmatan lil alamin




Daftar Pustaka

Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (Terj.). Yogyakarta: Trawang Press, 2003.

Abduh Zulfidar Akaha (ed.), Terorisme Konspirasi anti Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002.

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Moderinisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996.

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: PT Refika Aditama, 2004.

Luis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid 3. Mesir: Dar al-Misriyah, tt.

Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala ibn Qasim al-Ghazy, Juz II. Semarang: Thoha Putra, tt.

Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih lil al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibnu Isma’il al-Bukhari, Maktabah Salafiya.

Abu al-’Ala al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, Terj. Osman Ralibi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Hasan Hanafi, Al-Ushuliyyah wa Al-‘Ashr, dalam Hasan Hanafi dan Abid al-Jabiry. Hiwar Al-Masyriq wa Al-Maghrib, Beirut, Muassasah Al-‘Arabiyyah, 1990.

Samsurizal Panggabean, "Makna Jihad dalam al-Qur'an", dalam Jurnal Islamika, No. 4 April-Juni 1994.

Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fadzil al-Qur'an. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Abu Bakar, "Jihad dalam al-Qur'an, Suatu Kajian dengan Pendekatan Tafsir Maudlu'i", dalam Jurnal Dialogia, Vol. 2 Juli-Desember 2004.

Abd al-Baqi Ramdlan, al-Jihad Sabiluna. Solo: Pustaka Alaq, 1990.

Richard Bagun, Indonesia di Peta Terorisme Global, dalam Moh. Arif Setiawan, Kriminalisasi Tereorisme di Indonesia dalam era Globalisasi, artikel pada Jurnal Hukum, edisi nomor : 21 vol. 9 2002.

Sanford H. Kadis, Ensyclopaedia of Crime and justice, 1983. dalam Hanafi Amrani, “Kebijakan Kriminalisasi terhadap Terorisme”, Makalah pada Seminar Regional, Pembahasan di seputar RUU anti Terorisme Tinjauan Politik dan Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 14 Maret 2001.

Jourdan Pust, "Divisional Focus", dalam Yonah Alexander and Saymour Max Well Finger (ed.), Terorism : Interdisiplinery Perspektives. New York : John Jay Press, 1977.

Abdullah Ahmed An-Na'im, Dekontruksi Syari'ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedi dan Amirudin ar-Rani, cet. 2. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Jawahir Tantowi, Islam, Politik dan Hukum. Yogyakarta: Madyan Press, 2002.

Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998.

Nawal Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid, Terj. Muhammad Arif Rahman dan Muhammad Suharsono. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002.

Poltak Partogi Nainggolan, Terorisme Dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi DPR-RI, 2002.



1 Judul ini terinspirasi oleh judul film "Paradise Now" sebuah film yang menggambarkan perjuangan pemuda Palestina dalam memperjuangkan hak-haknya melawan kekejaman Isra'il. Film ini setidaknya menunjukkan kepada dunia luar apa makna sesungguhnya dibalik aksi bom bunuh diri yang banyak dilakukan oleh para pemuda dan kaum militan Palestina. Dalam ideologi mereka, tindakan tersebut adalah jihad, sesuatu yang mulia dan heroik serta menjadi jalan tercepat menuju Surga.

2 Mark Juergensmeyer, Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (Terj.), (Yogyakarta: Trawang Press, 2003), hlm. 6. buku ini membahas tentang kekerasan dan fenomena kebangkitan agama yang selama ini terjadi, tentu saja buku ini perlu diberi catatan kritik, karena teror bisa mengatasnamakan apa saja, bukan hanya faktor agama, tapi ada faktor-faktor yang lain, seperti ekonomi, politik, ketimpangan budaya, derasnya arus globalisasi, dll. yang satupun tidak pernah disinggung dalam buku ini.

3 Istilah “Islam fundamentalis” awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin al-Afghani. Istilah ini dicetuskan karena bahasa Eropa tidak punya istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah Salafiyah. Hasan Hanafi mengatakan bahwa term “Islam Fundamentalis” adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam dan gerakan Islam kontemporer yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir. (Hasan Hanafi, Al-Ushuliyyah wa Al-‘Ashr, dalam Hasan Hanafi dan Abid al-Jabiry. Hiwar Al-Masyriq wa Al-Maghrib (Beirut, Muassasah Al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 23.

4 Abduh Zulfidar Akaha (ed.), Terorisme Konspirasi anti Islam (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm. 31. Fenomena yang diidentifikasikan sebagai gerakan teroris itu muncul ditengah hegemoni Barat dalam hampir semua bidang. Sementara disisi yang lain, praktek tersebut kalau benar dilakukan oleh kelompok Islam militan, hal itu dilakukan oleh kelompok minoritas yang secara politis tertindas dan sedang memperjuangkan eksistensi diri dan kelompoknya. Apabila tesis ini diangkat maka akan menimbulkan sebuah pertanyaan kategoris. Persoalan teroris itu fenomena Agama atau fenomena sosial. Dengan kata lain bila hal itu fenomena sosial, maka salah satu sebabnya mungkin adalah ketimpangan sosial. Tetapi apabila secara filosofis bentuk gerakan yang dilakukan semata-mata dilandasi doktrin Agama dan berorietasi pada perjuangan ideologi yang lahir atas interpretasi agama maka itu bisa dianggap fenomena Agama, yang akhir-akhir sebagian orang menyebutnya dengan jihad.

5 Nusron Wahid, Islam, Demokrasi dan Terorisme, Kompas 28 Juni 2003

6 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Moderinisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina. 1996), hlm. 146.

7 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hlm. 42.

8 Pesantren yang dicap sebagai sarang teroris diantaranya adalah pesantren PP al-Mukmin Ngruki Solo, karena keterlibatan alumni pesantren ini dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia, selain itu, karena pesantren ini diasuh oleh seorang Amir jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara yang merupakan tangan kanan jaringan organisasi teroris internasional al-Qaeda.

9 Nama-nama Pangeran Diponegoro bersama Kiai Maja dan Sentot Alibasyah, adalah perpaduan trio birokrat nasionalis, figur ulama, dan panglima perang, yang mengobarkan Perang Diponegoro (1825-1830). Perang terbesar dan terberat bagi Belanda di Pulau Jawa. Begitu pula, Imam Bonjol pada Perang Padri di Sumatra Barat, Teuku Umar pada Perang Aceh, Kiai Hasan pada peristiwa Cimareme, Garut, Kiai Haji Zaenal Mustopa pada peristiwa melawan Jepang di Singaparna, Tasikmalaya.


10 Richard Bagun, Indonesia di Peta Terorisme Global, dalam Moh. Arif Setiawan, Kriminalisasi Tereorisme di Indonesia dalam era Globalisasi, artikel pada Jurnal Hukum, edisi nomor : 21 vol. 9 2002, hlm. 71.

11 Sanford H. Kadis, Ensyclopaedia of Crime and justice, 1983, hlm. 1530. dalam Hanafi Amrani, “Kebijakan Kriminalisasi terhadap Terorisme”, Makalah pada Seminar Regional, Pembahasan di seputar RUU anti Terorisme Tinjauan Politik dan Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 14 Maret 2001.

12 Dan Smith, On Terror and Terrorism, 2001, Ibid.

13 Jourdan Pust, "Divisional Focus", dalam Yonah Alexander and Saymour Max Well Finger (ed.), Terorism : Interdisiplinery Perspektives (New York : John Jay Press, 1977), hlm. 19, Abdullah Ahmed An-Na'im, Dekontruksi Syari'ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedi dan Amirudin ar-Rani, cet. 2 (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 295-296.

14 Jawahir Tantowi, Islam, Politik dan Hukum (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), hlm. 64.

15 Ibid., hlm. 67.

16 Luis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 106.

17 A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 217.

18 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid 3 (Mesir: Dar al-Misriyah, tt.), hlm. 133.

19 Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala ibn Qasim al-Ghazy, Juz II (Semarang: Thoha Putra, tt.), hlm. 267.

20Lihat, Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri…, Ibid., hlm. 261.

21 Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih lil al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibnu Isma’il al-Bukhari, Maktabah Salafiya.

22 Abu al-’Ala al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, Terj. Osman Ralibi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hm. 94-96.

23 Samsurizal Panggabean, "Makna Jihad dalam al-Qur'an", dalam Jurnal Islamika, No. 4 April-Juni 1994, hlm. 99.

24  Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fadzil al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hlm. 183.

25  Terdapat perbedaan antara sifat wajibnya jihad, apakah fardu 'ain atau fadu kifayah. Hal ini tergantung pemaknaan tentang jihad itu sendiri, jika jihad diartikan sebagai perang fisik maka hukumnya fardu kifayah, akan tetapi jika diartikan dalam pengertian yang umum yaitu mengerahkan segenap kemampuan untuk mengharap ridla Allah maka hukumnya fardu 'ain. Karena hal ini siapa saja bisa melakukannya.

26 Abu Bakar, "Jihad dalam al-Qur'an, Suatu Kajian dengan Pendekatan Tafsir Maudlu'i", dalam Jurnal Dialogia, Vol. 2 Juli-Desember 2004, hlm. 20.

27 Abd al-Baqi Ramdlan, al-Jihad Sabiluna (Solo: Pustaka Alaq, 1990), hlm. 26.

28 Asad al-Kalili, Kamus Indonesia Arab, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) hlm. 563.

29 Al-A’raf (7) : 116, 154, Al-Anfal (8) : 60, Al-Baqoroh (2) : 40, An-Nahl (16) : 51, Al-Qashash (28) : 32, Al-Hasyr (29) : 13, Al-Anbiya’ (21) : 90, Al-Hudud (57) : 27, Al-Ma’idah (5) : 82, At-Taubah (9) : 31, At-Taubah (9) : 34.

30 Shahifah Rabitah, 4 Syawal 1422 H 18 Januari 2002.


31Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, hlm. 146.

32 Ibid.,

33 Jaih Mubarok, “Fatwa tentang Protes Politis di Indonesia” dalam Kamaruddin Amin, dkk. (ed.) Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia Current Trends and Future Challanges (Jakarta: Depag RI, 2006), hlm. 122.

34 Ibid., hlm. 123.

35 Istisyhadiyyah adalah mengharap dan berusaha mendapatkan mati syahid dengan cara terbunuh di jalan Allah, sebagaimana yang disyari’atkannya.

36 Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 9-11.

37 Nawal Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid, Terj. Muhammad Arif Rahman dan Muhammad Suharsono (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm. 17.

Minggu, 25 November 2007

New Articel2

Konsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara

Akhmad Satori, S.IP
05.234.339




A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.[1]
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.[2]
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.

B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan[3].
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia[4].
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun[5].
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.[6] Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.[7]
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.[8]. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.[9]
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.[10] Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.[11]
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.[12]

C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan[13] Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut[14]. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style.[15] Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.[16]
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.[17]
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.

D. Ashabiyah[18] : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun[19].
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar[20].
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.

D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban[21] umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.[22]
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.[23]
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat.[24] Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.[25]
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara[26] sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.[27]
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi.[28] Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali[29], Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu[30] ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam.[31] Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar.[32] Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.

E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah' yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.

F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis. Wallahualam
Daftar Pustaka



Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.

Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.

Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),

Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.

Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001

Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.

Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.

Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.

Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.

Edisi RevisiKonsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara













Disusun untuk Kuliah Presentasi
Pemikiran Politik dalam Islam

Dosen pengampu :
Dr. Abd. Salam Arief, M. A.



Oleh :
Akhmad Satori, S. IP.
05.234.339



PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2006

[1] Franz Rosental mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut : "Agak sukar membayangkan adanya suatu bentuk prestasi yang lebih baik lagi bagi gagasan dan bahan Ibnu Khaldun itu" lihat Ibnu Khaldun, I, xx dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992) ,h. 55

[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), h.53
[3] Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h. 274
[4] Rahman.Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik....., Ibid., hlm.274
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara….,Ibid., hlm 91-92
[7] Rahman.Zainuddin, Ibid., hlm 274
[8] Ibid., hlm 274
[9] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22
[10] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 29
[11] Muqaddimah, adalah karya Ibnu khaldun yang terkenal merupakan bagian dari kitab al-Ibar merupakan pengantar karya sejarahnya yang memuat asas-asas baru ilmu sejarah, karya ini kemudian dihadiahkan kepada sultan negeri Tunisia, yang kemudian dikenal dengan “Naskah Tunis” dalam Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; (Bandung : Pustaka, 1987).hal. 15. lihat juga Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta : Bulan Bintang,1978). hlm 20
[12] Ibid., hlm. 31
[13] Sebagian pemikir memasukan aliran ketiga yaitu institusi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat dalam M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, (Yogyakarta : LESFI, 1992) hlm.28
[14] Ibid., hlm.39
[15] Thought style (gaya-pikir) adalah istilah yang di kemukakan oleh Karl Mannheim, istilah ini juga diterjemahkan dengan “thought-model,” yang artinya prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang implisit yang membentuk kerangka acuan (atau perspektif) darimana seseorang memandang dunia. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap mental, karenanya tidak cukup kiranya hanya mengklasifikasikan masyarakat sebagai suatu yang idealis atau yang realis tanpa mempelajari bagaimana kedua kecenderungansikap mental ini berkembang. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).hlm.2
[16] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik….hlm, 48
[17] Ibid., hlm 48
[18] Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba’ yang artinya mengikat dan ashabah (ikatan). Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solideritas sosial, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Lihat dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001), hlm.198,
[19] Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), hlm 72.
[20] Ibid.,hlm.73
[21] Istilah peradaban dalam atmosfir pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemahaman atas konsepnya yang disebut ‘umran’ yaitu segala sesuatu yang mencakup karya manusia dalam hidup bermasyarakat dan kemakmuran alam, lihat dalam Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi…hlm. 89
[22] Ibid., hlm 89
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.99
[24] Ibid.,hlm. 92
[25] Ibid., hlm 92
[26] Mengenai kepala negara ini perlu dijelaskan bahwa Ibnu Khaldun tidak membedakan pengertian khalifah dan imam. Khalifah menurut pandangannya adalah orang yang menjadi pengganti Nabi dalam bidang politik. Baginya khalifah adalah seorang yang mempunyai otoritas di bidang politik namun demikian khalifah bisa menjadi seorang pengemban agama juga, jadi menurutnya tidak ada pemisahan antara kehidupan sekuler dan agama. Menurutnya, jabatan khalifah ini yaitu khilafah, dapat juga disebut imamah, dikepalai seorang Imam.
[27] Hakimul Ikhwan…,Ibid, hlm. 93, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.101.

[28] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
[29] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.102.
[30] Malcom Kerr, Islamic reform : the political and legal theories of Muhammad abduh and Muhammad Rasyid Rida, (Berkeley and Los Anggles : University of Calivornia Press, 1966) h. 29 dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992
[31] Istilah Nomokrasi Islam menurut Malcom Kerr ialah tipe Negara yang mempunyai karakteristik berdasarkan hokum islam sebagai dasar fondasinya, dalam Negara ini demokrasi didasarkan pada hokum al-Qur'an dan al-Hadist, selain itu akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara., inilah tipe Negara ideal menurut Ibnu Khaldun, lihat Kerr….ibid.

[32] Hakimul Ikhwan …,Ibid.,hlm