Minggu, 25 November 2007

New Articel2

Konsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara

Akhmad Satori, S.IP
05.234.339




A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.[1]
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.[2]
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.

B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan[3].
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia[4].
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun[5].
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.[6] Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.[7]
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.[8]. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.[9]
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.[10] Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.[11]
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.[12]

C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan[13] Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut[14]. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style.[15] Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.[16]
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.[17]
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.

D. Ashabiyah[18] : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun[19].
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar[20].
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.

D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban[21] umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.[22]
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.[23]
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat.[24] Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.[25]
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara[26] sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.[27]
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi.[28] Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali[29], Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu[30] ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam.[31] Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar.[32] Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.

E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah' yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.

F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis. Wallahualam
Daftar Pustaka



Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.

Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.

Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),

Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.

Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001

Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.

Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.

Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.

Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.

Edisi RevisiKonsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara













Disusun untuk Kuliah Presentasi
Pemikiran Politik dalam Islam

Dosen pengampu :
Dr. Abd. Salam Arief, M. A.



Oleh :
Akhmad Satori, S. IP.
05.234.339



PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2006

[1] Franz Rosental mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut : "Agak sukar membayangkan adanya suatu bentuk prestasi yang lebih baik lagi bagi gagasan dan bahan Ibnu Khaldun itu" lihat Ibnu Khaldun, I, xx dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992) ,h. 55

[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), h.53
[3] Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h. 274
[4] Rahman.Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik....., Ibid., hlm.274
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara….,Ibid., hlm 91-92
[7] Rahman.Zainuddin, Ibid., hlm 274
[8] Ibid., hlm 274
[9] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22
[10] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 29
[11] Muqaddimah, adalah karya Ibnu khaldun yang terkenal merupakan bagian dari kitab al-Ibar merupakan pengantar karya sejarahnya yang memuat asas-asas baru ilmu sejarah, karya ini kemudian dihadiahkan kepada sultan negeri Tunisia, yang kemudian dikenal dengan “Naskah Tunis” dalam Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; (Bandung : Pustaka, 1987).hal. 15. lihat juga Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta : Bulan Bintang,1978). hlm 20
[12] Ibid., hlm. 31
[13] Sebagian pemikir memasukan aliran ketiga yaitu institusi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat dalam M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, (Yogyakarta : LESFI, 1992) hlm.28
[14] Ibid., hlm.39
[15] Thought style (gaya-pikir) adalah istilah yang di kemukakan oleh Karl Mannheim, istilah ini juga diterjemahkan dengan “thought-model,” yang artinya prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang implisit yang membentuk kerangka acuan (atau perspektif) darimana seseorang memandang dunia. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap mental, karenanya tidak cukup kiranya hanya mengklasifikasikan masyarakat sebagai suatu yang idealis atau yang realis tanpa mempelajari bagaimana kedua kecenderungansikap mental ini berkembang. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).hlm.2
[16] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik….hlm, 48
[17] Ibid., hlm 48
[18] Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba’ yang artinya mengikat dan ashabah (ikatan). Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solideritas sosial, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Lihat dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001), hlm.198,
[19] Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), hlm 72.
[20] Ibid.,hlm.73
[21] Istilah peradaban dalam atmosfir pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemahaman atas konsepnya yang disebut ‘umran’ yaitu segala sesuatu yang mencakup karya manusia dalam hidup bermasyarakat dan kemakmuran alam, lihat dalam Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi…hlm. 89
[22] Ibid., hlm 89
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.99
[24] Ibid.,hlm. 92
[25] Ibid., hlm 92
[26] Mengenai kepala negara ini perlu dijelaskan bahwa Ibnu Khaldun tidak membedakan pengertian khalifah dan imam. Khalifah menurut pandangannya adalah orang yang menjadi pengganti Nabi dalam bidang politik. Baginya khalifah adalah seorang yang mempunyai otoritas di bidang politik namun demikian khalifah bisa menjadi seorang pengemban agama juga, jadi menurutnya tidak ada pemisahan antara kehidupan sekuler dan agama. Menurutnya, jabatan khalifah ini yaitu khilafah, dapat juga disebut imamah, dikepalai seorang Imam.
[27] Hakimul Ikhwan…,Ibid, hlm. 93, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.101.

[28] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
[29] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.102.
[30] Malcom Kerr, Islamic reform : the political and legal theories of Muhammad abduh and Muhammad Rasyid Rida, (Berkeley and Los Anggles : University of Calivornia Press, 1966) h. 29 dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992
[31] Istilah Nomokrasi Islam menurut Malcom Kerr ialah tipe Negara yang mempunyai karakteristik berdasarkan hokum islam sebagai dasar fondasinya, dalam Negara ini demokrasi didasarkan pada hokum al-Qur'an dan al-Hadist, selain itu akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara., inilah tipe Negara ideal menurut Ibnu Khaldun, lihat Kerr….ibid.

[32] Hakimul Ikhwan …,Ibid.,hlm

New Articel2

Konsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara

Akhmad Satori, S.IP
05.234.339




A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.[1]
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.[2]
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.

B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan[3].
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia[4].
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun[5].
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.[6] Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.[7]
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.[8]. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.[9]
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.[10] Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.[11]
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.[12]

C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan[13] Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut[14]. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style.[15] Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.[16]
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.[17]
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.

D. Ashabiyah[18] : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun[19].
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar[20].
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.

D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban[21] umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.[22]
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.[23]
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat.[24] Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.[25]
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara[26] sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.[27]
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi.[28] Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali[29], Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu[30] ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam.[31] Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar.[32] Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.

E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah' yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.

F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis. Wallahualam
Daftar Pustaka



Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.

Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.

Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),

Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.

Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001

Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.

Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.

Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.

Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.

Edisi RevisiKonsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara













Disusun untuk Kuliah Presentasi
Pemikiran Politik dalam Islam

Dosen pengampu :
Dr. Abd. Salam Arief, M. A.



Oleh :
Akhmad Satori, S. IP.
05.234.339



PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2006

[1] Franz Rosental mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut : "Agak sukar membayangkan adanya suatu bentuk prestasi yang lebih baik lagi bagi gagasan dan bahan Ibnu Khaldun itu" lihat Ibnu Khaldun, I, xx dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992) ,h. 55

[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), h.53
[3] Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h. 274
[4] Rahman.Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik....., Ibid., hlm.274
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara….,Ibid., hlm 91-92
[7] Rahman.Zainuddin, Ibid., hlm 274
[8] Ibid., hlm 274
[9] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22
[10] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 29
[11] Muqaddimah, adalah karya Ibnu khaldun yang terkenal merupakan bagian dari kitab al-Ibar merupakan pengantar karya sejarahnya yang memuat asas-asas baru ilmu sejarah, karya ini kemudian dihadiahkan kepada sultan negeri Tunisia, yang kemudian dikenal dengan “Naskah Tunis” dalam Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; (Bandung : Pustaka, 1987).hal. 15. lihat juga Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta : Bulan Bintang,1978). hlm 20
[12] Ibid., hlm. 31
[13] Sebagian pemikir memasukan aliran ketiga yaitu institusi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat dalam M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, (Yogyakarta : LESFI, 1992) hlm.28
[14] Ibid., hlm.39
[15] Thought style (gaya-pikir) adalah istilah yang di kemukakan oleh Karl Mannheim, istilah ini juga diterjemahkan dengan “thought-model,” yang artinya prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang implisit yang membentuk kerangka acuan (atau perspektif) darimana seseorang memandang dunia. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap mental, karenanya tidak cukup kiranya hanya mengklasifikasikan masyarakat sebagai suatu yang idealis atau yang realis tanpa mempelajari bagaimana kedua kecenderungansikap mental ini berkembang. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).hlm.2
[16] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik….hlm, 48
[17] Ibid., hlm 48
[18] Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba’ yang artinya mengikat dan ashabah (ikatan). Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solideritas sosial, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Lihat dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001), hlm.198,
[19] Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), hlm 72.
[20] Ibid.,hlm.73
[21] Istilah peradaban dalam atmosfir pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemahaman atas konsepnya yang disebut ‘umran’ yaitu segala sesuatu yang mencakup karya manusia dalam hidup bermasyarakat dan kemakmuran alam, lihat dalam Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi…hlm. 89
[22] Ibid., hlm 89
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.99
[24] Ibid.,hlm. 92
[25] Ibid., hlm 92
[26] Mengenai kepala negara ini perlu dijelaskan bahwa Ibnu Khaldun tidak membedakan pengertian khalifah dan imam. Khalifah menurut pandangannya adalah orang yang menjadi pengganti Nabi dalam bidang politik. Baginya khalifah adalah seorang yang mempunyai otoritas di bidang politik namun demikian khalifah bisa menjadi seorang pengemban agama juga, jadi menurutnya tidak ada pemisahan antara kehidupan sekuler dan agama. Menurutnya, jabatan khalifah ini yaitu khilafah, dapat juga disebut imamah, dikepalai seorang Imam.
[27] Hakimul Ikhwan…,Ibid, hlm. 93, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.101.

[28] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
[29] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.102.
[30] Malcom Kerr, Islamic reform : the political and legal theories of Muhammad abduh and Muhammad Rasyid Rida, (Berkeley and Los Anggles : University of Calivornia Press, 1966) h. 29 dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992
[31] Istilah Nomokrasi Islam menurut Malcom Kerr ialah tipe Negara yang mempunyai karakteristik berdasarkan hokum islam sebagai dasar fondasinya, dalam Negara ini demokrasi didasarkan pada hokum al-Qur'an dan al-Hadist, selain itu akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara., inilah tipe Negara ideal menurut Ibnu Khaldun, lihat Kerr….ibid.

[32] Hakimul Ikhwan …,Ibid.,hlm

New Articel

IBN TAIMIYAH DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA
Oleh: A. Saifuddin
A. Pendahuluan
Ketika mendengar dan berbicara tentang sosok Ibn Taimiyah, maka terbersit di ingatan penulis komentar-komentar para kiyai dan ustadz ketika masih di pondok pesantren bahwa tokoh yang satu ini meskipun 'alim tapi karena banyak menghujat dan bahkan mengkafirkan para ulama, ia dianggap kafir, zindiq, dan term-term semacamnya.[1] Akibatnya tokoh ini tidak begitu dikenal (dimajhulkan) di kalangan pesantren yang begitu kuat memegangi tradisi ahl al-sunnah wa al-jama'ah. Tidak mengherankan pula jika penulis yang dibesarkan di kalangan pesantren baru sedikit mengetahui tokoh ini ketika sudah di bangku kuliah.
Namun, terlepas dari kontroversi sosok seorang Ibn Taimiyah, menurut penulis, tidak bijak jika kemudian melupakan dan tidak mau mempelajari pemikiran-pemikirannya, terutama yang berkaitan dengan politik—sebagai bidang yang menonjol ia bahas—karena sikap a-priori dan asumsi-asumsi yang kita bangun belum tentu sepenuhnya mengandung kebenaran. Sebaliknya, akibat yang ditimbulkan adalah sangat jelas, yaitu kerugian besar bagi kita, umat Islam, kalau mengesampingkan pemikiran-pemikiran tokoh ini.
Bagaimanapun juga, pemikiran politik Ibn Taimiyah memiliki relevansi yang jelas dengan zaman modern. Dengan mengkaji pemikiran-pemikirannya diharapkan banyak kesimpangsiuran bisa dihilangkan dari pemikiran politik di dunia Islam pada masa kini. Studi yang dinamis dan kritis terhadap pemikiran politik Ibn Taimiyah sangat dibutuhkan pada masa sekarang ini.
B. Biografi Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah memiliki nama lengkap Abu Abbas Ahmad bin Abd Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah. Ia lahir di Harran, Syria pada hari senin 10 Rabiul Awal tahun 661 H/22 Januari 1263 M. dan wafat di Damaskus pada malam senin, 20 Zulkaidah 728 H/26 September 1328 M.[2]
Ibn Taimiyah lahir dari sebuah keluarga terpelajar dan sangat Islami serta dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada zamannya. Ayahnya, Syihab al-Din Abdul Halim ibn Abd as-Salam, adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Kakeknya, syekh Majd ad-Din Abi al-Barakat Abd as-salam ibn Abd Allah juga seorang 'alim terkenal yang ahli tafsir, ahli hadis, ahli ushul fiqh, ahli nahwu, dan pengarang. Pamannya dari pihak bapak, Syaraf ad-Din Abd Allah ibn Abd al-Halim adalah seorang cendekiawan Muslim populer dan pengarang yang produktif pada masanya. Sedangkan adik laki-lakinya ternyata juga dikenal sebagai ilmuan Muslim yang ahli dalam bidang kewarisan Islam, ilmu-ilmu hadis dan ilmu pasti.[3]
Di samping belajar dan berguru kepada ayah dan pamannya, Ibn Taimiyah juga belajar kepada sejumlah ulama terkemuka seperti Syams ad-Din Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi, seorang faqih ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Hambali di Syria, Muhammad ibn Abd al-Qawi ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi, seorang muhaddis, faqih, nahwiyy, dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya, al-Manja' ibn Usman ibn asy-Syaibani. Selain itu, Ibn Taimiyah juga berguru kepada Zainab binti Makki al-Harrani, Syekh Syams ad-Din al-Asfihani asy-Syafi'i, Abd ar-Rahim ibn Muhammad al-Bagdadi, dan sejumlah ulama lain, baik yang terbilang kecil maupun tergolong besar, yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang.[4]
Pada masa Ibn Taimiyah hidup, Islam sedang mengalami kemunduran. Di sebelah Timur, kaum Muslimin dikalahkan dan dihancurekan tentara Mongol, dan di sebelah Barat mereka akhirnya terusir dari Spanyol. Akibatnya banyak kaum cerdik pandai mengungsi ke negeri-negeri yang lebih aman seperti ke Kairo dan Damaskus. Termasuk yang mengungsi adalah keluarga Ibn Taimiyah. Di Damaskus, keluarga Ibn Taimiyah kemudian menjadi tokoh-tokoh terkemuka karena pengabdian mereka kepada ilmu pengetahuan Islam.[5]
Setelah menguasai ilmu yang memadai, bahkan lebih dari itu, Ibn Taimiyah, yang telah menjadi mufti sejak sebelum berumur 20 tahun itu, mengabdikan ilmunya demi kepentingan Islam dan umat penganutnya. Sewaktu ayahnya wafat pada tahun 682 H/1284 M., ia yang waktu itu belum menamatkan studi formalnya dalam usia 21 tahun, menggantikan jabatan penting ayahnya sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Syukkariyah. Selain itu, Ibn Taimiyah juga harus menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hadis dan fiqh Hambali di beberapa madrasah terkenal yang ada di Damaskus. Mulai dari sinilah karir Ibn Taimiyah selalu meningkat dari tahun ke tahun, sejak dari 'alim kelas lokal dan kemudian nasional sampai akhirnya menjadi ulama besar yang berkaliber regional dan bahkan internasional.[6]
Dalam hal keagamaan, pada masa Ibn Taimiyah terdapat empat mazhab fiqh besar yang dijadikan rujukan umat Islam dan sudah sangat established, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan mazhab Hambali. Dalam hal teologi, paham al-Asy'ari dan al-Maturidi sangat mendominasi. Pada masa itu pula, muncul banyak tokoh-tokoh mistik dengan akrobatik-akrobatik spiritual mereka yang terlampau yakin dengan penafsiran bid'ah mereka, taqlid mutlak di dalam masalah-masalah kepercayaan, di dalam metode pemahaman, dan di dalam menerima hukum-hukum syari'ah beserta kesimpulan-kesimpulannya.[7] Dalam kondisi yang demikian Ibn Taimiyah mengumandangkan kebebasan berijtihad, dan anjuran untuk kembali kepada al-Qur'an, sunnah dan praktik-praktik as-salaf as-salih. Oleh sebab itu, maka konflik tidak bisa dihindarkan dengan para penentang-penentangnya yang tidak sepaham dengannya dan merasa terancam eksistensinya.
Konflik awal dalam masalah keagamaan antara Ibn Taimiyah dan para penentangnya adalah ketika orang-orang Hamah meminta pendapat (fatwa) nya mengenai sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam al-Qur'an. Ibn Taimiyah memberikan jawaban dalam bentuk risalah yang berjudul ar-Risalah al-Hamawiyah. Risalah inilah yang memicu protes para fuqaha yang diketuai Qadhi Jalaluddin dari mazhab Hanafi di Damaskus. Ibn Taimiyah dihadapkan kepada para hakim dan ahli hukum terkemuka untuk mempertanggungjawabkan fatwa tersebut. Terjadilah perdebatan sengit yang akhirnya dimenangkan oleh Ibn Taimiyah. Peristiwa ini merupakan awal dari konflik intelektual yang seru di kemudian hari.[8]
Sementara awal keterlibatan Ibn Taimiyah dalam masalah politik adalah ketika ia memprotes keras keputusan pemerintah (Gubernur Siria) yang tidak menjatuhkan hukuman mati kepada Assaf an-Nasrani, seorang Kristen berkebangsaan Suwayda', padahal Assaf telah menghina Nabi Muhammad saw. Hanya karena Assaf mau memeluk agama Islam ketimbang dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibn Taimiyah, siapapun yang telah menghina Rasulullah, tidak peduli ia Muslim atau bukan, harus dihukum mati. Karena protes dan sikap tegasnya itu akhirnya Ibn Taimiyah harus meringkuk di dalam penjara 'Adrawiyyah di Damaskus.[9]
Walhasil, sesungguhnya dalam diri Ibn Taimiyah terkumpul kualitas manusia unggul seperti mujaddid, seorang egalitarianisme radikal, orator dan agitator ulung, dan panglima yang gagah berani. Hanya saja sikapnya yang menentang arus membuatnya banyak 'dimusuhi' oleh ulama-ulama lainnya. Menurut Qomaruddin Khan alasan utama munculnya tantangan terhadap pendapat-pendapat Ibn Taimiyah terutama sekali karena ia tidak dapat mengendalikan amarahnya, sering mengucapkan kata-kata yang pedas, dan bertekad akan menyerang musuh-musuhnya, meskipun menurut Khan, sifat Ibn Taimiyah tersebut lebih disebabkan polemik-polemik yang menyakitkan hatinya.[10]
Melihat sepak terjang dan pemikiran-pemikirannya seyogyanya Ibn Taimiyah sangat populer di kalangan umat Islam seluruhnya, sejajar dengan tokoh-tokoh Muslim lain yang sangat populer seperti al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain sebagainya. Tapi kenapa Ibn Taimiyah tidak sepopuler yang semestinya? Tampaknya di antara sebab-sebab yang membuat ia tidak setenar yang seharusnya adalah Ibn Taimiyah tergolong profil ulama dengan gaya pemikiran dan tulisan yang amat polemis, pendapatnya sangat kontroversial dan selalu menentang arus utama, di samping itu, ia juga merupakan tokoh aktiivis sosial dan kegamaan yang radikal dengan pikiran-poikiran orisinal yang pada masanya sukar atau belum waktunya bisa dipahami oleh umum.[11]
C. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah
Pemikiran politik Ibn Taimiyah yang penting bisa ditemukan dalam karya-karyanya antara lain: Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah. Buku ini ditulis untuk mengkounter karya Ibn al-Muthahhar al-Hilli, buku yang lain adalah Minhaj al-Karamah fi Ma'rifat al-Imamah, kemudian al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlah al-Ra'i wa al-Ra'iyyah, meskipun buku ini lebih banyak berisi peraturan-peraturan administrasi Islam ketimbang politik, namun di dalamnya dapat kita temukan ide-ide yang sangat penting mengenai politik. Karya lainnya adalah al-Hisbah fi al-Islam. Dalam buku ini dijumpai pernyataan-pernyataan mengenai hakekat dan fungsi negara. Tulisan-tulisan lainnya berserakan dalam bentuk risalah dalam rangka polemiknya dengan para penentangnya. Salah seorang muridnya, Ibn al-Qayyim, menulis buku berjudul al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar'iyah. Namun, buku ini lebih banyak membahas prosedur pengadilan daripada teori politik atau pemerintahan.
Sementara buku yang ditulis sarjana Barat mengenai Ibn Taimiyah adalah karya Henry Laoust dalam bahasa Perancis berjudul "Les Doctrines Sociales et Politiques d' Ibn Taymiyyah". Buku ini merupakan studi paling serius dan teliti mengenai Ibn Taimiyah. Buku yang lebih merupakan karya ensiklopedis mengenai Ibn Taimiyah ini ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah dan sangat metodologis, meski sangat sering mengandung prasangka orientalis.[12] Sayang sekali buku ini tidak sampai kepada penulis baik dalam bentuk aslinya maupun tarjamahannya.
Untuk mengetahui pokok-pokok pemikiran politik Ibn Taimiyah dan supaya lebih mudah memahaminya akan kami paparkan dalam bentuk pointer-pointer sebagai berikut:
1. Asal Usul dan Sifat Negara
a. Menegakkan Negara
Pemikir-pemikir Muslim memandang masalah ini dalam bentuk yang berbeda-beda. Kaum Sunni menyatakan bahwa menegakkan negara (imamah) bukanlah salah satu asas dan praktik agama seperti yang diyakini oleh orang-orang Syi'ah. Menurut mereka, imamah adalah salah satu dari detail-detail (furu') yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang beriman, karena menurut pendapat mereka, kepada ummah diperintahkan untuk mengangkat seorang imam melalui al-sam' (tradisi).[13] Yang dimaksud dengan al-sam', menurut Qomaruddin Khan, adalah al-Qur'an , sunnah dan ijma'.[14]
Pandangan golongan Mu'tazilah sangat bertentangan dengan pandangan Sunni. Mu'tazilah berpendapat bahwa keharusan menegakkan imamah dapat dibuktikan oleh akal pikiran.[15] Sementara golongan Syi'ah juga menolak akal pikiran karena dianggap tidak mencukupi. Mereka berpendapat bahwa imamah adalah "lutf" (berkah) Allah kepada hamba-hamba-Nya.[16]
Ibn Taimiyah sendiri lebih sependapat dengan Sunni. Ia menyatakan bahwa mengatur urusan-urusan umat termasuk kewajiban-kewajiban agama yang terpenting. Tetapi tidak berarti agama tidak bisa tegak tanpa adanya negara. Kepentingan manusia, menurutnya, tidak bisa terpenuhi kecuali dengan bergabung menjadi suatu masyarakat, mengumpulkan kepentingan satu sama lain. Ketika berkumpul maka harus ada pemimpin.[17]
Ibn Taimiyah tidak mendasarkan pada metode ijma' sebagai alasan kewajiban mendirikan negara. Tetapi ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia (social welfare) dan melaksanakan syari'at Islam (iqamat al-Syari'ah al-Islamiyyah). Dengan demikian, sebetulnya Ibn Taimiyah tidak menganggap penting sistem khilafah. Menurutnya, institusi khilafah boleh ditiadakan, yang penting tujuan-tujuan positif bisa dicapai.
Sedemikian yakinnya Ibn Taimiyah terhadap keharusan otoritas negara sehingga ia mengatakan bahwa sesungguhnya raja adalah bayangan Allah di atas bumi, dan uangkapannya yang lain bahwa enam puluh tahun di bawah kekuasaan imam yang tiran itu lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam (chaos/vacuum of power).[18] Agaknya dalam hal ini Ibn Taimiyah lebih suka menggunakan teori stabilitas.
b. Pengangkatan Kepala Negara
Ibn Taimiyah tidak secara tegas merumuskan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dia hanya menyebutkan bahwa sebetulnya tidak terlalu penting membicarakan sistem pengangkatan kepala negara. Menurutnya, yang penting adalah bahwa orang yang menduduki jabatan itu harus benar-benar amanah dan adil.[19] Karena pentingnya dua hal ini, sehingga di awal bukunya, al-Siyasah al-Syari'yah, ia secara khusus membahas doktrin amanah dan keadilan bagi mereka yang menduduki jabatan. Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal bagi kepala negara, yaitu memiliki kualifikasi kekuatan (al-quwwah) dan integritas (al-amanat).[20]
Kekuatan dan integritas ini menurut Ibn Taimiyah diperoleh melalui cara mubaya'ah yang diberikan oleh ahl al-Syawkah[21] yang efektif kepada raja/kepala negara. Ini berarti bahwa dukungan umat muncul sebagai akibat wajar dari bay'ah tersebut, bukan sebagai prosedur terpisah yang diperlukan itu sendiri. Mubaya'ah ini nantinya akan berfungsi menjadi semacam kontrak sosial yang mengikat antara raja/kepala negara dan rakyat. Sedangkan yang dimaksud ahl al-Syawkah sendiri menurut Ibn Taimiyah adalah semua orang, tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka, dihormati dan ditaati oleh masyarakat[22]. Barangkali pada zaman sekarang ini ahl al-Syawkah bisa ndisamakan dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Menurut Qomaruddin Khan hanya Ibn Taimiyahlah yang telah memberikan perspektif yang tepat kepada konsep syawkah ini. Ibn Taimiyah menolak teori tradisional mengenai kekhalifahan dan mengembangkan sebuah teori tersendiri mengenai negara. Konsep atau teori ini pada gilirannya nanti ditransformasikan oleh Ibnu Khaldun ke dalam teorinya yang terkenal mengenai 'asabiyah.[23]
Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon penguasa atau kepala negara, namun apabila penguasa atau kepala negara yang ideal (memiliki kualifikasi kekuatan dan integritas) tidak bisa diperoleh, menurut Ibn Taimiyah harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan itu. Tetapi, menurutnya hal itu hanya bersifat sementara, dan bahwa setelah itu kaum Muslim harus berusaha memperbaiki keadaan mereka supaya dapat memenuhi ajaran-ajaran Islam.[24]
Dalam hal penunjukan atau pengangkatan pembantu-pembantunya, Ibn Taimiyah berpendapat, bahwa seorang kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut, dan jangan karena terpengaruh faktor-faktor subjektif seperti hubungan kekeluargaan dan lain sebagainya.
Tampaknya Ibn Taimiyah memaknai kata amanah dalam dua pengertian. Pertama, amanah diartikan kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, amanah diartikan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh kepala negara.[25]
Dengan persyaratan yang demikian, maka Ibn Taimiyah tidak mensyaratkan calon kepala negara harus dari suku Quraisy. Persyaratan ini (suku Quraisy) bertentangan dengan al-Qur'an yang mengakui persamaan derajat sesama manusia, meskipun ada hadis yang dijadikan landasan terhadap persyaratan suku Quraisy tersebut.[26]
c. Tugas Kepala Negara
Tugas utama dan mendasar seorang kepala negara adalah menciptakan kemaslahatan bersama dalam wujud menjalankan amanah sebaik-baiknya dan menciptakan keadilan semaksimal mungkin. Dengan demikian, maka tujuan negara adalah 1) sebagai alat untuk menjalankan syari'at Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia sebaik-baiknya, 2) berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bersama secara hakiki, lahir dan batin seluruh rakyat, dan 3) merupakan lembaga yang harus bertanggung jawab dalam menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.[27]
d. Bentuk Negara/Pemerintahan
Ibn Taimiyah lebih cenderung kepada bentuk pemerintahan demokratis. Pendapatnya ini disimpulkan dari penolakannya terhadap sistem khilafah dan juga terhadap model Syi'ah (imamah). Hanya saja demokratis yang dikehendaki Ibn Taimiyah adalah demokratis konstitusional yang berlandaskan nilai-nilai syari'at[28]. Model seperti ini, menurut Ibn Taimiyah, bisa merealisasikan nilai-nilai keadilan. Bukankah Allah mengirimkan utusan-utusan-Nya supaya kita bersikap adil baik berhubungan dengan hak-hak Allah maupun dengan hak-hak manusia sebagaimana firman-Nya:
…Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya rela mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak melihatnya.[29]
2. Negara Nubuwwah dan Khilafah Nubuwwah
Tesis pokok Ibn Taimiyah mengenai negara kenabian adalah bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang Nabi, bahwa segala aktifitasnya tercakup ke dalam fungsi kenabiannya, dan bahwa institusi imamah tidak berada di luar fungsi tersebut dan tidak pula merupakan rukun iman.[30] Pada masa Nabi masih hidup imamah tidak diperlukan, konsep imamah muncul setelah wafatnya Nabi. Ibn Taimiyah memiliki alasan-alasan yang kuat untuk membedakan rejim nubuwwah dengan negara Islam yang lahir setelah Muhammad meninggal dunia. Seorang raja, menurutnya, kepatuhan rakyat kepadanya karena ia adalah seorang raja. Tetapi, kita tentu menyadari bahwa Muhammad harus dipatuhi bukan karena dia seorang kepala negara tetapi karena dia adalah Rasul Allah.[31]
Sebenarnya inti tesis Ibn Taimiyah di atas dikarenakan pertama, penyangkalannya terhadap teori ilahiah mengenai imamah yang dikemukakan kaum Syi'ah, sedang ia tidak menyangkal fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad adalah seorang imam yang sejati. Kedua, menurutnya, kaum Muslimin tidak pernah mementingkan sesuatupun juga melebihi iman. Ketiga, bahwa detail-detail penataan negara tidak perlu disebutkan di dalam al-Qur'an. Negara, menurutnya, harus dinamis dan progresif di dalam sifat dan kondisinya.[32]
Berkaitan dengan khilafah Nubuwwah, Ibn Taimiyah menyatakan bahwa perkataan khilafah, seperti terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah, tidak mengandung signifikansi religius dan politik.[33] Mengenai empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibn Taimiyah lebih suka menyebtunya sebagai khalifah an-Nubuwwah.[34]
Menurut penulis persoalan apakah perkataan khilafah di dalam al-Qur'an maupun hadits mengandung signifikansi religius dan politik atau tidak memang masih menjadi perdebatan, bahkan kalau Ibn Taimiyah telah secara tegas menyatakan tidak. Tetapi bahwa khilafah itu pernah ada dalam sejarah perpolitikan Islam terlepas dari sebutan yang digunakan sebagai penggantinya juga merupakan sesuatu yang tidak bisa terbantahkan dan hal ini juga diakui oleh Ibn Taimiyah. Menurutnya khilafah pernah ada di dalam sejarah sebagai sebuah institusi politik.
D. Implikasi Pemikiran Politik Ibn Taimiyah Terhadap Pemikiran Politik Islam Modern
Ibn Taimiyah yang bermadzhab Hambali dalam banyak—meskipun tidak semua—perkara hukum dan teologis, dan seorang penganut Salafiyah pada bidang yang lebih luas, sangat berpengaruh kuat di kalangan Sunni konservatif dan, dalam periode modern, di kalangan kaum liberal dan konservatif. Sejumlah gagasan Ibn Taimiyah relevan dengan masyarakat dan politik karena menurutnya agama dan negara berkaitan erat (al-Islam al-din wa al-daulah). Gagasan-gagasannya tersebut ada yang bermakna positif tapi banyak juga yang berimplikasi negatif. Di antara gagasannya yang berimplikasi negatif misalnya, dia mendefinisikan orang Mongol sebagai kafir walaupun mereka memiliki wacana Islam publik. Dia memiliki antipati umum kepada ahl al-kitab.[35]
Pemikiran takfir semacam ini, di zaman modern, banyak diikuti oleh gerakan-gerakan militan-radikal seperti tampak pada pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan sayyid Qutb dengan konsepnya yang terkenal "jahiliyah modern". Pemikiran Ibn Taimiyah juga menjadi inspirasi bagi Muhammad Abd al-Salam Faraj, juru bicara intelektual dari kelompok yang merekayasa pembunuhan atas Anwar Sadat. Dalam sebuah risalahnya yang berjudul al-Risalah al-Faridhah, ia mengutip fatwa Ibn Taimiyah tentang orang Mongol sebagai preseden dalam takfirnya terhadap penguasa dan otoritas religius kontemporer.[36]
Implikasi positif dari pemikiran politik Ibn Taimiyah misalnya dalam hal pemahamannya yang tidak kaku terhadap konsep khilafah. Menurutnya, model negara boleh apa saja asalkan bisa merealisasikan tujuan-tujuan sebuah negara, yaitu kemaslahatan umat manusia, menciptakan keadilan dan menegakkan syari'at Allah. Berkaitan dengan konsep kepala negara (khalifah), Ibn Taimiyah memberi peluang bagi adanya pluralisme dalam dunia Islam. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa umat Islam tidak harus mempunyai hanya seorang khalifah, tetapi dibolehkan adanya beberapa khalifah dan beberapa negara yang menjadi daerah kekuasaan masing-masing khalifah itu.[37] Pandangan yang cukup realistis mengingat pada masa Ibn Taimiyah secara de facto tidak hanya terdiri dari satu kekhalifahan, tetapi terdiri dari lebih satu kekhalifahan dan beberapa kerajaan atau dinasti.
Menurut penulis banyak orang yang menjadikan pendapat atau pemikiran Ibn Taimiyah sebagai sandaran dalam tindakannya yang negatif karena ketidakmengertian atau paling tidak telah terjadi kesalahan dalam memahami pemikiran Ibn Taimiyah walaupun dalam kasus-kasus tertentu penulis juga sependapat bahwa ada pemikiran Ibn Taimiyah yang berpotensi menimbulkan hal-hal baik pandangan maupun sikap yang negatif dan merugikan.
E. Penutup
Pemikiran politik seseorang memang akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-religius di mana seseorang tinggal dan berinteraksi, termasuk pemikiran politik Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah yang hidup pada masa dunia Islam sedang mengalami puncak disintegrasi poltiik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral jelas sangat berpengaruh terhadap model pemikiran-pemikiran politiknya. Jika demikian halnya, maka konsep takfirnya terhadap orang-orang Mongol, meskipun sudah masuk Islam, bisa dipahami. Apalagi dia dan keluarganya harus mengungsi ke Damaskus karena serangan tentara Tartar yang sangat bengis dan kejam.
Pemikiran politik Ibn Taimiyah begitu amat penting di dalam sejarah politik Islam, bahkan hingga saat ini. Tesisnya yang mengatakan bahwa rejim yang ditegakkan Nabi adalah rejim nubuwwah dan bukan imamah, sedang imamah baru ada setelah Nabi wafat, perlu senantiasa dikaji. Wallahu 'A'lam.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam, Jakarta: INIS, 1991.
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford-Dunia Islam Modern, penerj. Eva Y.N., Femmy Syahrani, Jarot W., Poerwanto, Rofik S., cet. 1. Bandung: Mizan, 2001.
Hamadah, Abdul Ghani, Fadh al-Dzakirin wa al-Raddu 'Ala al-Munkirin. Suria: t.p., 1971.
Katsir, Ibn, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid IX juz 14. Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th.
Khan, Qomaruddin, The Political Thought of Ibn Taimiyah, 2nd edition. Pakistan: Islamic Research Institute, 1985.
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, cet. 1. Surabaya: Bina Ilmu, 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, edisi 5. Jakarta: UI Press, 1993.
Taimiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlahi al-Ra'i wa al-Ra'iyyah, cet. 2. Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1951.
---------, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah, jilid 1. Kairo: Maktabah Dar al-'Urubat, 1962.
---------, Majmu' Rasail, al-Hisbah. Kairo: t.tp., 1323.
[1] Hal ini tidak terlepas dari proyek besar Ibn Taimiyah yang ingin memberantas praktik-praktik bid'ah, khurafat, tahayul dan mistik yang menurutnya menjadi pangkal penyebab kemunduran dan kejatuhan Islam dan umat Islam.
[2] Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid IX juz 14, (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), halm. 135-136. Lihat juga Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), halm. 7.
[3] Amin, Ijtihad, halm. 7-8.
[4] Ibid., halm. 9-10.
[5] Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, 2nd edition, (Pakistan: Islamic Research Institute, 1985), halm. 2.
[6] Amin., Ijtihad, halm. 12.
[7] Khan, The Political, halm. 5-6.
[8] Ibid., halm. 7. Konflik selanjutnya misalnya dengan kaum sufi yang disponsori Ibn 'Ata' as-Sukandari. Untuk mengetahui komentar-komentar penentangnya, penulis kutipkan pernyataan al-ustadz Abdul Ghani Hamadah. Ia menyatakaan bahwa orang-orang ahli bid'ah mengagungkan dirinya sendiri. Mereka berkata kami adalah peniolong sunnah, kami salafiyun, kami mujaddidun sebagaimana yang dikatakan oleh guru mereka, Ibn Taimiyah. Padahal sebenarnya merekalah ahli bid'ah dari golongan yang sesat karena 1) penyimpangan mereka dari imam mazhab yang empat dan dari jumhur ulama kaum Muslimin, 2) paham antrophomorpisme/tajsim mereka terhadap sifat-sifat Allah, dan 3) mengkafirkan ulama-ulama dan auliya terkemuka. Hamadah juga mengutip komentar-komentar ulama mengenai diri Ibn Taimiyah, mislanya 'Alauddin al-Bukhari mengatakan bahwa Ibn Taimiyah kafir, Zainuddin al-Hambali menyebutnya kafir, imam as-Subki mengkafirkan Ibn Taimiyah karena ia telah mengkafirkan umat Islam dan menyerupakan mereka dengan kaum Yahudi dan Nasrani di dalam tafsirnya, Ibn Hajar menyebut Ibn Taimiyah sebagai hamba yang ditelantarkan, disesatkan, dibutakan, dibisukan, dan dihinakan Allah dan komentar-komentar ulama lainnya. Periksa al-Ustadz Abdul Ghani Hamadah, Fadh al-Dzakirin wa al-Raddu 'Ala al-Munkirin (Suria: t.p., 1971), halm. 22-23.
[9] Amin, Ijtihad, halm. 13.
[10] Khan, The Political,halm. 5.
[11] Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, cet. 1 (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), halm. 126.
[12] Khan, "Pendahuluan", halm. ii.
[13] Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah, jilid 1 (Kairo: Maktabah Dar al-'Urubat, 1962), halm. 26.
[14] Khan, The Political,halm. 24.
[15] Ibid., halm. 25.
[16] Ibid., halm. 28.
[17] Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar'iyah fi Ishlahi al-Ra'i wa al-Ra'iyyah, cet. 2 (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1951), halm. 172-173.
[18] Ibid., halm. 173.
[19] Disebutkan bahwa Allah menolong pemerintahan yang adil walaupun yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan tidak menolong pemerintahan yang sewenang-wenang walaupun yang dimiliki oleh orang-orang Muslim. Lihat Ibn Taimiyah, Majmu' Rasail, al-Hisbah (Kairo: t.tp., 1323), halm. 36. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa sehari bersama seorang pemimpin yang adil itu lebih utama daripada beribadah enam puluh tahun. Lihat juga Ibn Taimiyah, al-Siyasah, halm. 22.
[20] Ibid., halm. 20.
[21] Konsep ahl al-Syawkah yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah berbeda dengan konsep yang pernah diajukan oleh al-Ghazali. Menurut al-Ghazali ahl al-Syawkah adalah para penguasa yang sedang berkuasa pada masanya. Dalam konteks al-Ghazali yang dimaksud adalah para penguasa Turki dari Dinasti Saljuq yang menjadi penguasa di kota Baghdad.
[22] Khan, The Political,halm. 234.
[23] Khan, The Political halm. 235.
[24] Ibn Taimiyah, As-Siyasah, halm. 13-21.
[25] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, edisi 5. (Jakarta: UI Press, 1993), halm. 85-86.
[26] Pendapat Ibn Taimiyah ini bertentangan dengan pendapatnya sendiri yang tertuang dalam bukunya, Minhaj. Ia menerangkan syarat-syarat di dalam pemilihan seorang imam, yaitu: 1) harus dari suku Quraisy, 2) harus diangkat melalui konsultasi di antara orang-orang Muslim, 3) harus mendapatkan sumpah setia dari orang-orang Muslim, dan 4) harus bersifat adil. Periksa Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah, jilid 2. (Kairo: Maktabah Dar al-'Urubat, 1962), halm. 86-89.
[27] Rojak, Politik, halm. 166-167.
[28] Ibid., halm. 179. Tampaknya pemikiran Ibn Taimiyah ini di kemudian hari menjadi inspirasi bagi Sayyid Abu A'la Maududi untuk menyusun teori politiknya. Menurut Maududi sistem politik Islam bukan teokrasi dan bukan pula demokrasi sebagaimana di Barat. Menurutnya sistem politik Islam lebih merupakan perpaduan antara keduanya sehingga bisa disebut dengan teo-demokrasi. Lebih lengkapnya lihat Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore: Islamic Publications Limited, 1960).
[29] Al-Qur'an, 57:25.
[30] Khan, The Political,halm. 54.
[31] Ibid., halm. 57-58.
[32] Ibid., halm. 56.
[33] Ibid., halm. 137.
[34] Ibid., halm. 146.
[35] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford-Dunia Islam Modern, penerj. Eva Y.N., Femmy Syahrani, Jarot W., Poerwanto, Rofik S., cet. 1 (Bandung: Mizan, 2001), halm. 244.
[36] Ibid., halm. 245.
[37] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), halm. 42.