Konsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara
Akhmad Satori, S.IP
05.234.339
A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.[1]
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.[2]
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.
B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan[3].
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia[4].
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun[5].
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.[6] Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.[7]
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.[8]. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.[9]
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.[10] Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.[11]
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.[12]
C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan[13] Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut[14]. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style.[15] Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.[16]
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.[17]
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.
D. Ashabiyah[18] : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun[19].
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar[20].
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.
D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban[21] umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.[22]
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.[23]
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat.[24] Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.[25]
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara[26] sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.[27]
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi.[28] Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali[29], Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu[30] ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam.[31] Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar.[32] Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.
E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah' yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.
F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis. Wallahualam
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.
Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),
Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.
Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.
Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.
Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.
Edisi RevisiKonsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara
Disusun untuk Kuliah Presentasi
Pemikiran Politik dalam Islam
Dosen pengampu :
Dr. Abd. Salam Arief, M. A.
Oleh :
Akhmad Satori, S. IP.
05.234.339
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2006
[1] Franz Rosental mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut : "Agak sukar membayangkan adanya suatu bentuk prestasi yang lebih baik lagi bagi gagasan dan bahan Ibnu Khaldun itu" lihat Ibnu Khaldun, I, xx dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992) ,h. 55
[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), h.53
[3] Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h. 274
[4] Rahman.Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik....., Ibid., hlm.274
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara….,Ibid., hlm 91-92
[7] Rahman.Zainuddin, Ibid., hlm 274
[8] Ibid., hlm 274
[9] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22
[10] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 29
[11] Muqaddimah, adalah karya Ibnu khaldun yang terkenal merupakan bagian dari kitab al-Ibar merupakan pengantar karya sejarahnya yang memuat asas-asas baru ilmu sejarah, karya ini kemudian dihadiahkan kepada sultan negeri Tunisia, yang kemudian dikenal dengan “Naskah Tunis” dalam Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; (Bandung : Pustaka, 1987).hal. 15. lihat juga Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta : Bulan Bintang,1978). hlm 20
[12] Ibid., hlm. 31
[13] Sebagian pemikir memasukan aliran ketiga yaitu institusi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat dalam M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, (Yogyakarta : LESFI, 1992) hlm.28
[14] Ibid., hlm.39
[15] Thought style (gaya-pikir) adalah istilah yang di kemukakan oleh Karl Mannheim, istilah ini juga diterjemahkan dengan “thought-model,” yang artinya prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang implisit yang membentuk kerangka acuan (atau perspektif) darimana seseorang memandang dunia. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap mental, karenanya tidak cukup kiranya hanya mengklasifikasikan masyarakat sebagai suatu yang idealis atau yang realis tanpa mempelajari bagaimana kedua kecenderungansikap mental ini berkembang. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).hlm.2
[16] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik….hlm, 48
[17] Ibid., hlm 48
[18] Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba’ yang artinya mengikat dan ashabah (ikatan). Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solideritas sosial, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Lihat dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001), hlm.198,
[19] Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), hlm 72.
[20] Ibid.,hlm.73
[21] Istilah peradaban dalam atmosfir pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemahaman atas konsepnya yang disebut ‘umran’ yaitu segala sesuatu yang mencakup karya manusia dalam hidup bermasyarakat dan kemakmuran alam, lihat dalam Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi…hlm. 89
[22] Ibid., hlm 89
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.99
[24] Ibid.,hlm. 92
[25] Ibid., hlm 92
[26] Mengenai kepala negara ini perlu dijelaskan bahwa Ibnu Khaldun tidak membedakan pengertian khalifah dan imam. Khalifah menurut pandangannya adalah orang yang menjadi pengganti Nabi dalam bidang politik. Baginya khalifah adalah seorang yang mempunyai otoritas di bidang politik namun demikian khalifah bisa menjadi seorang pengemban agama juga, jadi menurutnya tidak ada pemisahan antara kehidupan sekuler dan agama. Menurutnya, jabatan khalifah ini yaitu khilafah, dapat juga disebut imamah, dikepalai seorang Imam.
[27] Hakimul Ikhwan…,Ibid, hlm. 93, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.101.
[28] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
[29] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.102.
[30] Malcom Kerr, Islamic reform : the political and legal theories of Muhammad abduh and Muhammad Rasyid Rida, (Berkeley and Los Anggles : University of Calivornia Press, 1966) h. 29 dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992
[31] Istilah Nomokrasi Islam menurut Malcom Kerr ialah tipe Negara yang mempunyai karakteristik berdasarkan hokum islam sebagai dasar fondasinya, dalam Negara ini demokrasi didasarkan pada hokum al-Qur'an dan al-Hadist, selain itu akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara., inilah tipe Negara ideal menurut Ibnu Khaldun, lihat Kerr….ibid.
[32] Hakimul Ikhwan …,Ibid.,hlm
Pemerintah dan Negara
Akhmad Satori, S.IP
05.234.339
A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.[1]
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.[2]
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.
B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan[3].
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia[4].
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun[5].
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.[6] Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.[7]
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.[8]. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.[9]
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.[10] Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.[11]
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.[12]
C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan[13] Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut[14]. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style.[15] Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.[16]
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.[17]
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.
D. Ashabiyah[18] : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun[19].
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar[20].
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.
D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban[21] umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.[22]
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.[23]
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat.[24] Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.[25]
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara[26] sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.[27]
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi.[28] Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali[29], Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu[30] ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam.[31] Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar.[32] Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.
E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah' yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.
F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis. Wallahualam
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.
Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),
Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.
Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.
Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.
Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.
Edisi RevisiKonsep Ibnu Khaldun Tentang
Pemerintah dan Negara
Disusun untuk Kuliah Presentasi
Pemikiran Politik dalam Islam
Dosen pengampu :
Dr. Abd. Salam Arief, M. A.
Oleh :
Akhmad Satori, S. IP.
05.234.339
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2006
[1] Franz Rosental mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut : "Agak sukar membayangkan adanya suatu bentuk prestasi yang lebih baik lagi bagi gagasan dan bahan Ibnu Khaldun itu" lihat Ibnu Khaldun, I, xx dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992) ,h. 55
[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), h.53
[3] Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h. 274
[4] Rahman.Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik....., Ibid., hlm.274
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm 90-91
[6] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara….,Ibid., hlm 91-92
[7] Rahman.Zainuddin, Ibid., hlm 274
[8] Ibid., hlm 274
[9] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). hlm.22
[10] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.), hlm 29
[11] Muqaddimah, adalah karya Ibnu khaldun yang terkenal merupakan bagian dari kitab al-Ibar merupakan pengantar karya sejarahnya yang memuat asas-asas baru ilmu sejarah, karya ini kemudian dihadiahkan kepada sultan negeri Tunisia, yang kemudian dikenal dengan “Naskah Tunis” dalam Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; (Bandung : Pustaka, 1987).hal. 15. lihat juga Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, Cet. IV. (Jakarta : Bulan Bintang,1978). hlm 20
[12] Ibid., hlm. 31
[13] Sebagian pemikir memasukan aliran ketiga yaitu institusi. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indera dan rasio. Lihat dalam M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, (Yogyakarta : LESFI, 1992) hlm.28
[14] Ibid., hlm.39
[15] Thought style (gaya-pikir) adalah istilah yang di kemukakan oleh Karl Mannheim, istilah ini juga diterjemahkan dengan “thought-model,” yang artinya prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang implisit yang membentuk kerangka acuan (atau perspektif) darimana seseorang memandang dunia. Hal ini sangat berhubungan dengan sikap mental, karenanya tidak cukup kiranya hanya mengklasifikasikan masyarakat sebagai suatu yang idealis atau yang realis tanpa mempelajari bagaimana kedua kecenderungansikap mental ini berkembang. Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).hlm.2
[16] Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik….hlm, 48
[17] Ibid., hlm 48
[18] Ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba’ yang artinya mengikat dan ashabah (ikatan). Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solideritas sosial, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Lihat dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001), hlm.198,
[19] Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), hlm 72.
[20] Ibid.,hlm.73
[21] Istilah peradaban dalam atmosfir pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemahaman atas konsepnya yang disebut ‘umran’ yaitu segala sesuatu yang mencakup karya manusia dalam hidup bermasyarakat dan kemakmuran alam, lihat dalam Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi…hlm. 89
[22] Ibid., hlm 89
[23] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.99
[24] Ibid.,hlm. 92
[25] Ibid., hlm 92
[26] Mengenai kepala negara ini perlu dijelaskan bahwa Ibnu Khaldun tidak membedakan pengertian khalifah dan imam. Khalifah menurut pandangannya adalah orang yang menjadi pengganti Nabi dalam bidang politik. Baginya khalifah adalah seorang yang mempunyai otoritas di bidang politik namun demikian khalifah bisa menjadi seorang pengemban agama juga, jadi menurutnya tidak ada pemisahan antara kehidupan sekuler dan agama. Menurutnya, jabatan khalifah ini yaitu khilafah, dapat juga disebut imamah, dikepalai seorang Imam.
[27] Hakimul Ikhwan…,Ibid, hlm. 93, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.101.
[28] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
[29] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.102.
[30] Malcom Kerr, Islamic reform : the political and legal theories of Muhammad abduh and Muhammad Rasyid Rida, (Berkeley and Los Anggles : University of Calivornia Press, 1966) h. 29 dalam Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992
[31] Istilah Nomokrasi Islam menurut Malcom Kerr ialah tipe Negara yang mempunyai karakteristik berdasarkan hokum islam sebagai dasar fondasinya, dalam Negara ini demokrasi didasarkan pada hokum al-Qur'an dan al-Hadist, selain itu akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara., inilah tipe Negara ideal menurut Ibnu Khaldun, lihat Kerr….ibid.
[32] Hakimul Ikhwan …,Ibid.,hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar