Sabtu, 17 November 2007

POLITIK KAUM SUFI

BAB I


PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah


Di Indonesia, wajah Islam beraneka ragam, dan cara kaum muslim di Nusantara ini menghayati agama bermacam-macam. Namun, ada hal yang menarik dalam perjalanan sejarah kepulauan ini; yaitu tasawuf. Tulisan-tulisan paling awal karya muslim Indonesia bernafaskan semangat tasawuf, dan sering dikemukakan orang, karena tasawuf inilah terutama sekali orang Indonesia memeluk Islam. Islamisasi Indonesia mulai dalam masa ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Pikiran-pikiran para sufi terkemuka Ibn Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang muslim generasi pertama di Indonesia. Apalagi, hampir semua pengarang tadi juga menjadi pengikut sebuah tarekat atau lebih.1

Secara relatif, tarekat merupakan tahap paling akhir dari perkembangan tasawuf, tetapi menjelang penghujung abad ketiga belas, ketika orang Indonesia mulai berpaling kepada Islam, tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya.2 Kata tarekat (berarti “jalan”) mengacu baik pada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, ratib dan lainnya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini. Pada masa-masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka, dan beberapa dari murid ini kelak menjadi guru pula. Boleh dikatakan, tarekat ini mensistematika ajaran-ajaran, metode-metode tasawuf. Guru-guru tarekat yang sama semuanya kurang lebih mengajarkan metode yang sama: zikir yang sama, dapat pula muraqabah yang sama, seorang pengikut tarekat akan beroleh kemajuan dengan melalui sederetan ijazah berdasarkan tingkatnya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat yang sama, dari pengikut biasa hingga murid, selanjutnya hingga pembantu syaikh atau khalifahnya dan akhirnya –dalam beberapa kasus- hingga menjadi guru yang mandiri (mursyid atau guru).3

Dalam perkembangannya tarekat tidak hanya mempunyai fungsi keagamaan, tentu juga mempunyai kekuatan politik. Banyak syaikh tarekat yang kharismatik karena banyak pengikutnya serta besar pula pengaruhnya terhadap mereka, maka terkadang para syaikh (tuan guru) memainkan peranan penting dalam politik. Pihak pemerintah (dalam hal ini pemerintah kolonial) melihat para syaikh ini sebagai ancaman atau sekutu yang bermanfaat, akan tetapi mustahil mengabaikan mereka.4

Banyak peristiwa pemberontakan melawan pemerintahan kolonial yang melibatkan para haji, tuan guru seperti dalam pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859/1862), kasus Haji Rifa’I (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).5

Dalam menghadapi pengaruh penetrasi budaya Barat yang memiliki kekuatan disintegratif, masyarakat Indonesia mempunyai cara-cara untuk membuat reaksi sendiri. Karena di dalam sistem kolonial tidak terdapat lembaga-lembaga untuk menyalurkan perasaan tidak puas atau kekuatan oposisional, maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengadakan gerakan sosial sebagai gerakan protes sosial. Dalam perwujudannya gerakan protes sosial itu seringkali diperkuat oleh perasaan keagamaan dan menjadi gerakan sosial politik. Dengan demikian protes sosial yang mengambil jalan kekerasan yaitu dengan melancarkan pemberontakan secara aktif yang dipimpin oleh seorang tokoh kharismatik.6

Suatu kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin sekitar tahun 1860-an. Pemberontakan itu sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru (tuan guru) mulai mengajar amalan yang dinamakan "beratif baamal"-barangkali suatu varian amalan tarekat Sammaniyah.7 Orang berbondong-bondong datang dibai'at dan diberikan jimat-jimat, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tanpa memperdulikan bahaya. Tiba-tiba pemberontakan jauh lebih membahayakan kedudukan Belanda, dan baru mereda setelah para pemimpin serangan dari kaum Beratif Baamal tewas tertembak. Dalam kasus ini tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat dilibatkan.8

Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di mesjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama yang disebut dengan Tuan Guru.

Secara etimologis kata Beratif Baamal terdiri dari dua kata, yaitu Beratif yang berarti berzikir dan Baamal yaitu melakukan perbuatan atau berdoa untuk memohon kabaikan. Jadi Beratif Baamal adalah seseorang atau sekelompok orang menjalankan zikir (ratib). Berdasarkan kenyataan aksi Beratif Baamal lebih cenderung dianggap sebagai khalwat9 dalam usaha memohon keselamatan untuk memerangi orang kafir.10

Praktik Beratif Baamal dilakukan sebagai berikut: Pengikut yang terdiri dari kaum muslimin berkumpul di mesjid atau langgar dengan dipimpin seorang Tuan Guru. Jamaah ini bersama-sama membaca dzikir "La ilaha illa Allah' disertai kalimat pujian-pujian dan seterusnya sebagai berikut : La ilaha illa Allah, La ilaha illah Allah, dengan menadah tangan ke atas, rizki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta panjangkan serta iman.

Adapun cara penyebutan Beratif Baamal sebagai berikut: 11

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah. Wahai Tuhan yang memberikan kenikmatan menyelamatkan dari bahaya, memberikan panjang umur dan keimanan yang kuat.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah. Dari Mekkah sampai Madinah, tempat tinggal Nabi Muhammad.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah. Dari Mekkah sampai Madinah, tempat tinggal Fatimah (Putri Rasululah).

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan ikhlas wahai Tuhan, wahai Muhammad, utusan Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Iman yang kuat adalah rumah Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad pelayan Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad utusan Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Nabi Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad sifat Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad, utusan Allah.

La ilaha illla Allah,

Tidak ada Tuhan selain Allah, (Muhammad) menjadi pelayan Allah.

Tidak ada Tuhan selain Allah 12



Praktek berdzikir itu berlangsung lama, bahkan berhari-hari. Dalam kekhusyu'annya mereka tenggelam dalam keasyikan mengingat Allah Swt. Pujian-pujian itu diucapkan berirama, mula-mula bernada rendah, makin lama makin tinggi, tinggi dan keras berupa jeritan yang histeris. Dalam situasi yang demikian mental perjuangan berhasil ditingkatkan sehingga mereka siap untuk menyerbu musuh tanpa menghiraukan resiko maut yang dihadapi.13

Unsur-unsur dari sejarah perang Banjar 14 yang menumbuhkan semangat perlawanan terhadap penjajah dan melakukan gerakan pemberontakan yang dikenal dengan gerakan Beratif Baamal. Tujuan gerakan ini adalah mempertahankan agama dan Kerajaan Banjar berdasarkan kalimah Allah, hadits Nabi Muhammad Saw, Syafaat 40 nabi, keramat Datuk, dan ilmu pahlawan.15

Jama'ah dzikir ini memakai pakaian seragam jubah putih kecuali pimpinannya Tuan Guru yang memakai jubah kuning. Pengaruh amaliah dzikir ini sangat mendalam dan mempengaruhi jiwa raga manusia yang melakukannya.

Kajian tentang Politik Kaum Sufi kaitannya dengan dinamika sosial politik yang terjadi di Banjarmasin sangat menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Adapun fokus yang dikaji yaitu Gerakan Beratif Baamal berlangsung sekitar tahun 1859-1905 yang merupakan salah satu dari Perang Banjar.16 Hal ini mengingat posisi tarekat (lebih luas sufisme) yang sering dianggap kolot bagian dari kaum tradisional yang mempertahankan status qua mereka dan dituduh sebagai kemunduran Islam.

Akan tetapi berjalannya waktu, tarekat (sufisme) selalu memainkan peranan yang sangat besar baik dalam penyebaran agama Islam maupun sebagai gerakan sosial politik dalam mengusir penjajah dan pengaruhnya sampai sekarang ini. Salah satu dari gerakan itu adalah sekelompok tokoh sufi yang melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan melalui gerakan tarekat.

Penelitian ini ingin menggali keterkaitan Politik Kaum Sufi (sebagai elit agama) dengan menggunakan tarekat Beratif Baamal sebagai kegiatan dalam amalan agama, justru mempunyai pengaruh sosial politik pada masa penjajahan. Selanjutnya tulisan ini ingin menjelaskan gerakan Beratif Baamal dari sejak kemunculan yang merupakan salah satu dari Perang Banjar (1859-1905), juga dampak dan pengaruh dari gerakan tarekat ini dalam kehidupan masyarakat di Banjarmasin pada saat itu.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah penulis mencoba untuk menguraikannya sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi munculnya Gerakan Beratif Baamal di Banjarmasin?

2. Bagaimana peran dan pengaruh yang dimainkan oleh kaum sufi khususnya Gerakan Beratif Baamal dalam mendorong atau mempengaruhi kehidupan sosial dan politik di Banjarmasin?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat ditetapkan seperti berikut:

  1. Sebagai kajian sejarah, Gerakan Beratif Baamal di Banjarmasin dalam pada abad ke-18 an, secara teoritis bertujuan guna mengungkapkan perkembangan terekat dan politik di Banjarmasin. Adapun secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan realitas ajaran tarekat dan politik di Banjarmasin, selanjutnya menjadi wawasan dalam memahami Islam pada tingkat lokal Banjarmasin.

  2. Penelitian ini ingin menemukan peran dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi dari Politik Kaum Sufi ini dalam menjalankan tarekat Beratif Baamal, terutama dengan dinamika sosial dan politik yang terjadi di Banjarmasin pada saat itu.


Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat:

  1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penulisan yang relatif komprehensif, akurat dan aktual tentang Politik Kaum Sufi dalam menjalankan Beratif Baamal di Banjarmasin.

  2. Penelitian ini diharapkan akan dapat mengungkapkan fakta-fakta sejarah baru mengenai dinamika gerakan keagamaan dan pemikiran Islam di Banjarmasin pada saat itu, dengan melihat kasus Gerakan Beratif Baamal yang dilakukan Kaum Sufi.

  3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan bagi masyarakat umumnya, lebih khusus bagi kalangan akademik, Provinsi Kalimantan Selatan dalam menentukan ataupun mengambil kebijakan.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai perkembangan Agama Islam di daerah Kalimantan Selatan, telah dilakukan oleh para sarjana Indonesia maupun luar negeri. Akan tetapi kebanyakan mereka menitik-beratkan kajiannya pada masuk dan berkembangnya Islam, pendiri kerajaan Banjar ataupun tokoh-tokoh penyebar Islam beserta ajarannya.

Adapun kajian yang menjelaskan aspek-aspek sosial politik dari gerakan Beratif Baamal oleh : P.J. Veth, “Het Beratif beamal in Bandjermasin” yang menguraikan perlawanan yang dilakukan Tuan Guru yang mengajarkan amalan yang di sebut dengan Beratif Baamal.17

Begitu pula, makalah dari Helius Syamsuddin berjudul “Islam and Resistence in South and Central Kalimantan in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries dari Islam in The Indonesian Social Context sebagai editor adalah M. Ricklefts, dalam tulisan ini, ia menjelaskan proses masuknya Islam ke Kalimantan Selatan dan Tengah sekitar abad ke 19 dan 20, dan perlawanan masyarakat Kalimantan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dipaparkannya ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Islam dan juga perjuangan masyarakat Banjar dalam mengusir penjajah, ialah keterlibatan masyarakat Dayak Bakumpai dalam proses Islamisasi di wilayah pedalaman, peran para haji dengan Beratif Baamal, juga konsep ideologi jihad dalam perang Banjar.18

Kemudian, Soeri Soeroto, The Beratif Baamal Movement in The Banjar War dalam Profiles of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics. Ia menguraikan kegagalan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sekuler (elit) dalam menghadapi kolonialisme, maka kemunculan pemimpin dari gerakan sosial keagamaan menjadikan semangat untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah semakin gencar dan keberadaan gerakan ini yang disebut dengan Beratif Baamal juga tulisan ini lebih memfokuskan perjuangan rakyat (aspek Politik) Kalimantan Selatan terhadap Belanda dengan menggunakan aspek agama sehingga menjadi salah satu unsur dari perang Banjar, namun tulisan inipun tidak menjelaskan lebih rinci tentang perjalanan ulama-ulama Banjar seperti Syaikh Muhammad Arsyad, Syaikh Muhammad Nafis, Syakh Abdul Hamid Abulung sebagai penyiar Agama Islam yang mempunyai peran dan pengaruh di tanah Banjar hingga saat ini.19

Selanjutnya, dari laporan penelitian dengan judul Unsur-Unsur Islam Dalam Sejarah Perang Banjar (1859-1905) menjelaskan tentang gerakan-gerakan perlawanan bersenjata yang terjadi di Banjarmasin seperti: Gerakan Beratif Baamal, Gerakan Muning, gerakan perlawanan di Banua Lima, gerakan perlawanan Sungai Malang, gerakan di daerah Martapura dan Barito itu adalah perlawanan itu dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam.20

Penulis lain, Husni Abrar dalam skripsinya berjudul Gerakan Sosial Penambahan Muda Aling, Kumbayau, Muning, Banua Ampat:Sebuah Studi Kasus Tentang Kekuasaan Dalam Masyarakat Banjar menguraikan gerakan sosial yang dilakukan oleh Panembahan Muda Aling itu terjadi akibat konflik politik elit tradisional yang menimbulkan pertikaian politik di Kerajaan Banjar, hal ini menyebabkan intervensi pemerintah kolonial yang sangat besar sekali terhadap Kerajaan Banjar, secara sosiologis rakyat membutuhkan Ratu Adil dan ini ada dalam diri Panembahan Muda Aling dari masyarakat biasa menjadi pemimpin kharismatik lewat megico-religius di masyarakat Banjar dan iapun bekerja sama dengan Pangeran Antasari untuk melawan penjajah.21 Juga dari Tesis Tammy Roeslan, Gerakan Muning:Sebuah Gerakan Sosial Dalam Perang Banjar pokok tulisan ini berbicara tentang aspek ekonomi. Ia berpendapat kemerosotan ekonomi akibat dari kontak sosial kultural Barat dengan sosio-kultural tradisional masyarakat Banjar (abad ke-19) sehingga keluarga Kerajaan Banjar mengalami kemerosotan ekonomi yang menyebabkan berkurangnya penghasilan keluarga Kerajaan Banjar sehingga pihak kerajaan menaikkan pajak 2 (dua) kali lipat dan upeti-upeti lainya. Dengan begitu pihak kerajaan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, dan membawa kesejajaran ekonomi keluarga kerajaan dengan Belanda, hal itu menyebabkan penderitaan dikalangan masyarakat bawah.22

Dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam Asia Tenggara23 disebutkan perlawanan yang dilakukan oleh golongan tarekat membuat pemerintah kolonial ketakutan terhadap radikalisasi tarekat, ini cukup beralasan karena terdapat cukup banyak perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin tokoh tarekat atau yang berkaitan dengan pengikut tarekat tertentu, kenyataan ini bisa dilihat pada pemberontakan “Beratif Baamal” di Kalimantan Selatan (1859-1863).24

Dari hal tersebut di atas, penulis melihat belum ada tulisan-tulisan yang secara khusus, komprehensif dan akurat yang membahas tentang Politik Kaum Sufi dalam gerakan tarekat Beratif Baamal, yang menghubungkan sisi agama dan dampak sosial politik yang yang ditimbulkan oleh gerakan ini, dan kemunculan gerakan ini dari sejak masa penjajah sehingga mempengaruhi peta perpolitikan di pada saat itu.


E. Kerangka Teori

Dalam kajian mengenai hubungan agama (dalam hal ini tarekat) dengan politik yang memfokuskan kepada politik kaum sufi dalam kasus tarekat Beratif Baamal dengan menggunakan beberapa konsep:

Agama dalam penelitian ini tidak dimaksudkan sebagaimana pandangan para teolog yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan makhluk lainnya, akan tetapi adalah agama yang bersentuhan dengan tindakan manusia yang diyakini kebenarannya, keyakinan tersebut mempengaruhi tindakan-tindakannya. Atau dalam kata lain, agama menjadi pedoman dalam menginterpretasikan tindakan-tindakannya.25

Agama menurut Smith dapat dikaji ke dalam empat aspek, ialah: identitas kelompok, pengaturan kemasyarakatan, organisasi dan sistem keyakinan.26 Agama sebagai identitas kelompok mengacu kepada eksistensi umat-umat beragama, yaitu kelompok-kelompok yang terdiri dari individu-individu yang terikat satu sama lain oleh kesamaan lambang-lambang keagamaan. Agama sebagai pengaturan kemasyarakatan mengacu kepada eksistensi struktur-struktur sosio-religius yang mengatur kehidupan sosial inheren umat beragama bersangkutan. Agama sebagai organisasi keagamaan mengacu pada lembaga-lembaga keulamaan, yaitu kelompok-kelompok beranggotakan para spesialis yang secara professional mencurahkan perhatian pada ajaran dan peribadatan keagamaan. Agama sebagai sistem keyakinan mengacu kepada eksistensi ideologi-ideologi keagamaan, yang kira-kira merupakan batang tubuh di doktrin agama itu.

Dalam teori fungsional, agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Agama bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Ia juga dapat melakukan peran risalat dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan atau bahkan memiliki pengaruh subversif yang mendalangi masyarakat tertentu.27

Dengan demikian, agama dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menyakini kebenaran dan mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.

Tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. Guru-guru yang memberikan petunjuk dan pimpanan ini dinamakan Mursyid yang mengajar dan memimpin muridnya sesudah mendapat ijazah dari gurunya pula sebagai tersebut dalam silsilah.28

Ada dua tipe ajaran mistik,29 yakni Mysticism of Infinity (Union Mistik) yaitu: suatu aliran mistik yang memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhan-Nya. Bagi para penganut mysticism of infinity menekankan pada pendekatan voluntaristik, yaitu berusaha membebaskan dan melarutkan kediriannya dalam Tuhan, dan menyatukan kehendaknya dengan kehendak Tuhan.

Tipe kedua, Mysticism of Personality (transsendentalis mistik) ialah paham mistik yang mempertahankan adanya perbedaan yang esensi antara manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khalik. Paham ini mempergunakan pendekatan gnostik, yakni berusaha untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang sedalam-dalamnya terhadap Tuhan.

Bagi para sufi mencapai penghayatan ma’rifah kepada Tuhan adalah nilai yang tertinggi yang diidam-idamkan dalam seluruh kehidupannya. Untuk maksud ini mereka rela meninggalkan kehidupan keduniaan, dan menjalankan pertapaan yang amat berat dan bertahun-tahun. Penghayatan ma’rifat ini umumnya dicapai dengan tiga tahaf, yakni via purgativa, via contemplativa dan via illuminativa.30

Via purgativa merupakan segi filosofis yang terberat, karena terdiri dari mawas diri, penguasaan segala nafsu, dan kemudian mensucikan seluruh hari hanya untuk Tuhan saja. Kemudian, via contemplativa (segi praktis) ialah samadi atau meditasi, yakni memusatkan seluruh kesadaran dan pikiran dalam merenungkan keindahan wajah Tuhan dengan penuh kerinduan. Dalam tasawuf kontemplasi atau meditasi ini disertai membaca zikir terus menerus, baik dengan bacaan keras atau dalam hati. Selanjutnya, via illuminativa ialah proses terbukanya tabir penyekat alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib sebagai hasil dari semadi atau zikir.

Suatu perubahan besar yang perlu diperhatikan adalah, gerakan-gerakan tarekat di atas nampak lebih mengutamakan aspek praktis dari ajaran tasawuf, yaitu lebih menekankan pada segi via contemplativa (kontemplasi, wirid, persujudan), kurang memperhatikan aspek via purgativa yaitu penyucian hati yang merupakan aspek filosofis yang dinamis. Dengan demikian tasawuf yang semula merupakan gerakan individu dari para elite kebatinan, bisa dimasyarakat menjadi massal bagi orang-orang awam dan bersifat kolektif.

Adapun “Mursyid”nya sangat dihormati, disegani dan mempunyai pengaruh di masyarakat. Inilah yang dilihat oleh Weber dalam mengkaji pranata masyarakat yang dikembangkan atas dasar apa yang ia sebut dengan tipologi, yaitu legitimasi rasional legal juga dapat dijumpai pula model dalam masyarakat yang berdasarkan sumber tradisional dan kharismatik. Karena itu pemimpin kharismatik tidak dengan sendirinya terhapus karena menguatnya legitimasi rasional-legal sehingga seperti pemahaman Coser, bahwa birokrasi rasional bisa saja menghadirkan stagnasi, namun sebaliknya kepemimpinan kharismatik dalam politik (kekuasaan) justru bisa lebih kokoh dibandingkan dengan pola kepemimpinan politik yang berdasarkan kewenangan-kewenangan prosedural atau rasional.31

Melihat keefektifan yang dimiliki pemimpin kharismatik yang dapat mengubah prilaku masyarakat, termasuk masyarakat modern sekalipun, maka mudah dipahami jika seperti juga pemimpin tradisional, pemimpin kharismatik umumnya memiliki daya tarik bagi aktor politik, birokrasi maupun militer.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia gerakan berasal dari kata gerak berarti: peralihan tempat atau kedudukan, baik hanya sekali maupun berkali-kali. Gerak di tambah akhiran an menjadi gerakan yaitu: perbuatan atau keadaan bergerak atau pergerakan, usaha, atau kegiatan di lapangan politik.32 Dalam studi gerakan sosial bisa dilihat antara lain: Pertama dan utama adalah Individu. Kedua, ideologi yakni keyakinan-keyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian mereka, yaitu oleh kecenderungan-kecenderugan psikologis mereka, atau oleh tekanan-tekanan mikro informal di dalam lingkungan hidup pribadi para individu pada saat itu. Ketiga, fenomena perkumpulan massal, artinya suatu keadaan di dalam masyarakat di mana para individu disingkirkan dari kelompok-kelompok sosial yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksi-aksi protes atau pengaduan-pengaduan di dalam sebuah gerakan sosial. Keempat, gerakan ini berhubungan erat dengan teori tingkah laku kolektif. Fenomena-fenomena seperti kelompok yang panik (panic group), kelompok histeris (hysterias), dan kelompok yang tingkah lakunya dengan cepat sekali berubah-rubah (fads), dan tingkah laku kerumunan (crowd behavior). Kelima, adanya ancaman-ancaman untuk melawan institusi-institusi liberal demokratis dan pluralisme demokratis. Keenam, yang berhubungan prilaku-prilaku, khususnya prilaku-prilaku antidemokrasi yang diperlihatkan oleh para individu.33

Dalam kontek persoalan di atas sebuah gerakan pemberontakan tentu memiliki prilaku kolektif atau collective behavior. Prilaku kolektif yang sebagaimana yang diartikan oleh H. Ralph Turner dan M.Lewis Killian di dalam bukunya: Collective Behavior (1957), adalah:34

...collective behavior as the behavior of collective, that is, group characterised by spontaneous depelopment of norms and organization which contradict or reinterpret the norm and organization of the society”.


Sehubungan dengan teori prilaku ini, Neil Smelser telah berjasa melalui bukunya Theory of Collective Behavior. Sebuah gejolak sosial yang disebutnya collective behavior merupakan mobilisasi atas dasar suatu belief, keyakinan, yang mendefinisikan kembali aksi sosial. Gejolak sosial berwujud prilaku yang tak terlembaga, termasuk revivalisme agama, pemberontakan dan revolusi. Keyakinan yang menjadi pendorong untuk ikut serta di dalam gejolak sosial itu, oleh Smelser disebut generalized belief yang terdiri atas: panik, revivalisme, bermusuhan, norma dan nilai.

Smelser kemudian menunjukkan bahwa sebuah gejolak sosial dapat terjadi jika terdapat sejumlah faktor penentu yang terdiri dari:35

Pertama. Structural conduciveness, yaitu adanya suatu struktur sosial yang mendukung terhadap lahirnya suatu gejolak, Kedua. Structural strain, ialah adanya suatu ketegangan struktural yang timbul, misalnya adanya suatu ancaman tertentu dan depresi ekonomi, Ketiga. The spread of generalized belief, adalah tersebarnya keyakinan umum yang dianut. Ini berarti situasi harus dibuat bermakna bagi para pelaku potensial, sumber ketegangan dan cara menghadapinya harus diidentifikasi. Keempat. The precipitating factor yaitu faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Suatu peristiwa empirik atau situasi tertentu dapat menjadi lebih dari satu faktor penentu dalam gejolak sosial. Kelima. Mobalization into action ialah suatu mobilisasi untuk bertindak. Dalam situasi ini peranan seseorang amat menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya permusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi. Keenam. The operation of social control, yaitu pengoperasian kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu, membelokkan, merintangi gejolak-gejolak itu, dengan cara: A. mencegah terjadinya episode gejolak-gejolak sosial. B. mobilitas alat-alat negara segera setelah gejolak sosial mulai terjadi.36

Keenam faktor penentu yang disebutkan Smelser di atas, sebagai pendorong lahirnya suatu gejolak sosial, harus saling mendukung dan terkait satu dengan yang lainnya. Salah satu faktor yang tampil ke permukaan, tidak dapat melahirkan suatu gejolak; melainkan merupakan kombinasi dari keenam faktor tersebut yang mampu melahirkan suatu gejolak.

Istilah elit berasal dari bahasa Inggris "elite" yang juga berasal dari bahasa Latin "eligere", yang berarti memilih. Istilah elit digunakan pada abad ke tujuh belas untuk menyebut barang-barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus, yang kemudian digunakan juga untuk menyebut kelompok-kelompok sosial tinggi seperti kyai, tuan guru, kesatuan militer atau kalangan bangsawan.37

Dalam kontek Ilmu Politik, teori elit muncul dari pemikiran Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Roberto Michles dan Jose Optega Y. Gesset, Pareto percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik, merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari kyai, tuan guru, pengacara, mekanik, intelektual, bisnisman, bahkan preman. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang kaya dan pandai, yang mempunyai kelebihan dalam ilmu pengetahuan ataupun moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas; (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.38

Secara umum, baik Pareto, Mosca, Michels maupun Ortega sepakat setiap masyarakat ada kelompok terkecil "elit" yaitu mereka adalah orang-orang yang terbaik, berbakat, berpengaruh, ataupun yang mempunyai kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam melihat peran yang dimainkan "Tuan Guru" dalam Gerakan Beratif Baamal di Banjarmasin yang melakukan pemberontakan terhadap penjajah. Kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan oleh "Tuan Guru" ini bisa dilihat dari pemikiran Weber tentang dominasi "elite" Tuan Guru, (lihat tabel).

Konsep Dominasi


Bentuk dominasi

Sumber

Kepemimpinan

Perubahan

Tradisional

Kharismatik

Rasional

Non-rasional

Pengaruh (emosional)

Rasional

Kebiasaan

Pribadi/perorangan

Kekuasaan

impersonal

Statis

Dinamis

Dinamis








Di lain hal, Max Weber berbicara tentang kekuasaan dan dominasi yaitu:39















Dalam kajian teori "elit" politik, seperti Tuan Guru, mereka sangat dihormati karena keulamaan dan keilmuan yang mereka miliki sehingga menjadikan mereka sebagai orang yang kharismatik di daerah Banjarmasin.

Maka dalam tulisan ini menampilkan kasus Politik Kaum Sufi: Studi Gerakan Beratif Baamal di Banjarmasin yaitu fenomena hubungan agama (dalam hal ini tarekat) dalam wacana antara tarekat dan politik, jadi tulisan ini dimaksudkan untuk lebih memberikan varian mengenai hubungan antara agama dan politik tersebut berdasarkan latar belakang sejarah, sosial dan politik yang terjadi di Banjarmasin sekitar abad ke-18 dan pengaruh tarekat dalam kehidupan masyarakat pada saat ini.


F. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggali data sejarah yang berhubungan dengan Politik Kaum Sufi dalam Beratif Baamal, maka upaya merekontruksi masa lalu dari obyek yang diteliti itu ditempuh melalui pendekatan interdisipliner. Hal ini menunjukan objek yang dihadapi dalam gerekan kaum sufi dalam Beratif Baamal di Banjarmasin tidak dapat dipecahkan hanya menggunakan satu disiplin ilmu saja, sebab pendekatan dalam satu disiplin saja dikhawatirkan tidak memberikan jawaban komprehensif, akurat, dan aktual dari permasalahan yang diangkat. Maka tulisan ini menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan politik.

Kasus perlawanan pada masyarakat Banjar sekitar abad ke-18/19 an, terjadi perubahan sosial sebagai dampak modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial seperti dalam birokrasi, agama, monetisasi, edukasi dan sebagainya. Dalam menghadapi perubahan itu timbul beraneka ragam reaksi yang bersumber pada lokasi sosial berbagai golongan. Golongan bangsawan, aristokrasi, elite agama dan petani. Titik pendirian serta sikap golongan sosial terhadap inovasi sangat berbeda-beda selaras dengan nilai-nilai hidup mereka, sehingga antara sikap menolak dan menerima terdapat variasi. Di sini terdapat sumber konflik sosial yang melibatkan semua golongan. Proses politik dalam konflik ternyata menciptakan aliansi antara bangsawan dan aristokrasi di satu pihak, sedang di pihak lain kaum agama dengan petani. Kaum bangsawan masih ada hubungan juga dengan pihak kedua. Menjelang pecahnya pemberontakan timbul polarisasi antara kedua pihak, antara pemimpin alamiah rakyat dengan pemimpin yang ditopang penguasa asing. Pihak pertama mempunyai kewibawaan besar, sedang yang kedua hanya serba ditakuti karena didukung oleh kekuatan senjata kolonial. Dalam ledakan adu kekuatan, yang terakhirlah yang menang.40

Perjuangan kekuasaan antara kaum elite di tingkat regional sebagai proses politik mikro, terungkapkan secara jelas serta penuh makna. Apakah artinya inovasi bagi kaum elite di daerah tertentu, secara konkret terlukiskan, bagaimana situasi transisional secara inheren mengandung konflik, bagaimana ideologi secara laten dapat menjadi titik pemusatan kekuatan sosial, sehingga mengakibatkan akselerasi sampai pada benturan penuh kekacauan.41

Untuk itu pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali, dilangsungkan dengan metode penggunaan bahan dokumen.42 Metode ini dapat berlangsung, sebab ditemukan sumber-sumber tertulis yang memberikan informasi diseputar kajian atau informasi tentang Politik Kaum Sufi dalam Beratif Baamal. Walaupun penulis menemukan kesulitan dalam memperoleh sumber primer dari dokumen Belanda, sumber yang sama dapat dijumpai berupa tulisan-tulisan dari makalah, maupun data tertulis lainnya dari dokumen lokal, tetapi penyusun juga beruntung menemukan data-data sekunder dari laporan pemerintah Hindia Belanda yang lainnya.

Keterkaitan dengan langkah pengumpulan data, observasi lapangan dilakukan dengan jalan mengunjungi dan meminta informasi dari Museum Lambung Mangkurat, tempat tersebut merupakan penyimpanan benda-benda bersejarah berupa artipak seperti: alat-alat senjata, zimat, wafak-wafak dan benda-benda peninggalan lainnya yang berhubungan dengan objek kajian dimaksud. Di samping itu pula penyusun menggunakan wawancara kepada ahli-ahli sejarah dari peristiwa tersebut. Dalam hal ini, informasi yang didapatkan adalah berupa sejarah lisan, yaitu dari tokoh-tokoh sejarah, keturunan ataupun pengikutnya. Metode sejarah lisan ini dipergunakan sebagai metode pelengkap terhadap bahan dokumenter.43

Konsekuensi logis di dalam metode sejarah, bahwa sumber-sumber itu kemudian diuji keaslian dan kebenarannya melalui kritik ekstren dan intern. Setelah pengujian dan analisis data dilakukan, maka fakta-fakta yang diperoleh disintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Penulisan sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian sejarah ini diusahakan dengan selalu memperhatikan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya berdasarkan tema-tema penting dari setiap perkembangan obyek peneliti. 44


G. Sistematika Penulisan

Penelitian dalam bentuk tesis ini mempunyai tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian dan Kesimpulan. Bagian pertama merupakan bab pendahuluan sebagaimana telah dibahas, didalamnya menjelaskan beberapa hal yaitu mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Hasil penelitian disajikan dalam tiga bab, selanjutnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pada bab kedua diuraikan pokok bahasan menyangkut tentang Peran Agama dan Dinamika Sosial dan Politik dalam Kehidupan Masyarakat Banjar yang meliputi: Penyebaran Tasawuf di Nusantara: Secara Singkat kemudian Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan terdiri dari: Selayang Pandang Masuknya Islam di Kalimantan Selatan dilanjutkan dengan Tokoh Tasawuf dan Ajarannya yang Mempengaruhi Masyarakat Banjar antara lain: Syaikh Ahmad Syamsuddin al-Banjari, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari dan Syaikh Abdul Hamid Abulung. Adanya Dinamika Sosial dan Politik dalam Masyarakat Banjar yaitu pergolakan Sosial di Masyarakat Banjar dan Kebijakan Belanda dan Pengaruhnya terhadap Perlawanan Masyarakat Banjar.

Selanjutnya, pada bab ketiga, pembahasannya difokuskan terhadap Gerakan Beratif Baamal dalam Pemberontakan terhadap Kolonial Belanda di Banjarmasin, antara lain: Tarekat dan Politik dan Pengaruh Tarekat dalam Pemberontakan terhadap Belanda seperti Gerakan Beratif Baamal yang melahirkan pemberontakan di daerah Banua Lawas, Sungai Malang, Teluk Selasih, Jatoh, Hantarukung, Hariyang. Di samping juga dengan Gerakan Beratif Baamal di Muning

Dan pada bab keempat, berupa analisis dari Politik Kaum Sufi (Studi Beratif Baamal di Banjarmasin) bab ini merupakan pembahasan yang bersifat analitis mengenai Peran Tuan Guru dalam Politik sebagai perjuangan untuk melakukan pemberontakan yang digerakkan oleh Kaum Sufi

Bagian penutup merupakan kesimpulan atas keseluruhan pembahasan tesis ini, yang diharapkan bisa menarik benang merah dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bermakna. Rumusan kesimpulan itu ditulis pada bab kelima dan ini sekaligus sebagai penutup.













1 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsbandiyah di Indonesia: Survei, Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), cet. ii, hlm. 15.

2 Seringkali kita mendengar adanya suatu kesimpulan bahwa sukses dari penyebaran Islam di Indonesia adalah karena aktivitas para pemimpin tarekat, kesimpulan ini tentunya berlebih-lebihan dan didasarkan kepada versi yang sangat sederhana atas suatu proses sejarah yang sebenarnya sangat kompleks. Namun cukup alasan untuk menyimpulkan, bahwa peranan organisasi-organisasi tarekat dalam penyebaran Islam di Nusantara ini sangat besar (lebih-lebih di Pulau Jawa. Selanjutnya lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. iv, hlm.140-142.

3 Martin van Bruinessen, Tarekat, hlm. 15.

4 Martin van Bruinessen, “Tarekat dan Politik: Amalan Untuk Dunia atau Akhirat”? dalam majalah Pesantren, Vol. IX No. 1, 1992. hlm. 3-4.

5 Mohammad Iskandar dan Achmad Syahid, “Islam dan Kolonialisme” dalam Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 322.

6 F.A. Sutjipto (ed), Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta: Depdikbud, 1975), hlm.240-241.

7 Dalam tulisan A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam (Banjarmasin: Unlam, 1994), hlm. 256. Ia menyebutkan Gerakan Beratif Baamal merupakan bagian dari Tarekat Naqsyabandiyah.

8 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), cet. ii, hlm. 339.

9 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik) (Solo: Ramadhani, 1993), cet. ix, hlm.140. Khalwat pada golongan sufi ialah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati itu berkekalan ingat kepada Allah dan dengan demikian tetap berkepanjangan memperhambakan diri kepada Allah.

10 A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar, hlm. 255.

11 Helius Syamsudiin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 275-276.

12 Helius Syamsudiin, Islam Dan Perlawanan Di Kalimantan Selatan Dan Tengah Pada Abad 19 Dan Awal Abad 20, terj: Najib Kaelani & M. Najib De Ridha (Yogyakarta: PSPB, 2002), hlm. 11.

13 A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar, hlm. 256.

14 Wahyuddin (dkk), Unsur-Unsur Islam Dalam Sejarah Perang Banjar1859-1905 (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1994), hlm. 5.

15 Namun sebelum itu muncul gerakan nativisme yang bersumber dari mistik Islam yaitu: gerakan Aling di Kumbayau dan gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang dikoordinir oleh elit-elit keagamaan diberbagai daerah dalam wilayah Kerajaan Banjar.

16 Pemberontakan yang dilakukan oleh Kaum Sufi dengan Gerakan Beratif Baamal di Banjarmasin mempunyai perbedaan. Dalam Yustan Aziddin (dkk), Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Depdikbud, 1982), hlm. 112. Dijelaskan secara keseluruhan Perang Banjar itu berlangsung sejak tahun 1859-1905 yang dibagi dalam dua tahap: 1. 1859-1863 sebagai aksi ofensif, 2. 1863-1905 sebagai aksi defensif. Gerakan Beratif Baamal termasuk tahap pemberontakan aksi defensif yang merupakan satu dari episode-episode konflik bersenjata antara rakyat Banjar dengan kekuatan kolonial Belanda. Bandingkan dengan Helius Syamsudiin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 453-460. Ia menjelaskan bahwa akhir Perang Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah pada tahun 1906. Juga dalam Mohammad Iskandar dan Achmad Syahid, “Islam dan Kolonialisme” dalam Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 322. Diterangkan pula pemberontakan oleh Kaum Sufi yang terjadi di Banjarmasin pada tahun 1859-1862. Bandingkan pula pihak Belanda menyebutkan Perang Banjar ini berhenti pada tahun 1865 (dari tahun 1859), dan ada juga yang berpendapat bahwa Perang Banjar (Banjermasinsche Krijg) berlangsung hanya selama lebih kurang tiga setengah tahun dari tanggal 28 April 1859 s/d 11 Oktober 1862 saat wafatnya Pangeran Antasari. Tetapi hal ini relatif, karena secara periodik perlawanan rakyat berjalan secara terus menerus sampai tahun 1905. Baru setelah periode Perang Menawing diakhiri oleh Christoffel dan marsosenya dengan hancurnya pemerintah Pegustian yang dibangun oleh Antasari sejak tahun 1860 perlawanan rakyat Banjar yang teratur habis. Lihat M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari (Jakarta: Depdikbud, 1993). Menurut Penulis terjadinya Gerakan Beratif Baamal merupakan kerja sama antara ulama dan Pangeran Antasari dan berpengaruh sampai akhir Perang Banjar tahun 1905. Walaupun masih ada pemberontakan setelah tahun 1905, bagi penulis itu merupakan konflik kecil saja.

17 Lebih lanjut lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 330-344.

18 Helius Syamsuddin, “Islam and Resistence in South and Central Kalimantan in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries” editit by M. Ricklefts (ed), Islam in The Indonesian Social Context, (Annual Indonesia Lecture Series No. 15), hlm.7-18.

19 Soeri Soeroto, “The Beratif Beamal Movement in The Banjar War” dalam Sartono Kartodirdjo (ed), Profiles of Malay Culture: Historiography,Religion and Politics (Jakarta: Ministry of Education and Culture, 1976), hlm. 163-177.

20 Wahyuddin (dkk), Unsur-Unsur Islam Dalam Sejarah Perang Banjar (1859-1905), (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1994), hlm. 19-45.

21 Husni Abar, Gerakan Sosial Penambahan Muda Aling, Kumbayau, Muning, Banua Ampat: Sebuah Studi Kasus Tentang Kekuasaan Dalam Masyarakat Banjar (Skripsi: Undip Semarang, 1989), dan dibukukan menjadi Panembahan Muda Aling: Datu Muning Sebuah Studi Kasus Tentang Kekuasaan Masyarakat Banjar, (Rantau Kal-Sel: Pemda Kab. Tapin, 2002), hlm. x-xii.

22 Tammy Roeslan, Gerakan Muning: Sebuah Gerakan Sosial Dalam Perang Banjar (Yogyakarta: Tesis Fak. Sastra UGM, 1981)

23 Ali Munhanif, “Islam dan Gerakan Petani”, dalam Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis: Dunai Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 242-247.

24 A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam (Banjarmasin: Unlam Press, 1994), hal. 256 menjelaskan bahwa Gerakan Beratif Baamal dilakukan oleh Tarekat Naqsabandiyah bandingkan dengan tulisan Martin Van Bruinessen, “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat”? dalam majalah Pesantren,Vol.IX No. 1 (1992), diuraikan gerakan Beratif Baamal berasal dari Tarekat Samaniyah.

25 Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Roland Roberston, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali, 1988), hlm. v-vi.

26 Donald Eguene Smith, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 187.

27 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Penganalan Awal, terj. Tim Yosagama (Jakarta: Rajawali Press, 1994), cet. v, hlm. 19-30. Lebih lanjut lihat di buku yang sama dalam bab “Kekaburan dan Dilema” hlm. 190-194, tentang enam disfungsi yang berkaitan antara lain: 1. agama tidak fungsional kalau ia memberikan ketenangan emosional dan mempunyai peran menumbuhkan rekonsiliasi, 2. dalam pelaksanaan fungsi kependetaan, dalam hal ini berkaitan dengan transendental, agama bertugas mensucikan ide-ide tertentu, 3. dalam mensucikan norma dan nilai-nilai masyarakat, agama akan tampil sebagai ciri yang abadi sebagai pembentuk, 4. fungsi risalat suatu fungsi yang begitu penting dalam agama yang memberikan dasar dan legitimasi kritik dan oposisi pada tatanan yang telah mapan, 5. sebagai fungsi identitas atau pengenal, agama bisa menjadi obyek loyalitas, 6. hubungan agama dengan kematangan individu merupakan hubungan yang kabur.

28 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik) (Solo: Ramadhani, 1993), cet. ix, hlm. 67.

29 Simuh, “Gerakan Kaum Sufi”, dalam Jurnal Prisma, Vol. 11, 1985. hlm. 72-73.

30 Ibid, hlm. 73-75.

31 Mahmud Sujuthi, Politik dan Tarekat: Qadariyah wa Naqshabandiyah Jombang: Studi Tentang Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. xix.

32 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. iii, hlm. 311-312.

33 Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis (Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm. 32-36.

34 Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 12.

35 Ibid.,

36 Ibid., hlm. 12-13.

37 Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah (Yogyakarta: Terawang, 2000), hlm. 21; Imam Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 27.

38 SP. Norma, Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto (dkk) (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hlm. 199 – 200.

39 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi Makna Agama Di Tangan Elite Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hlm. 21.

40 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.48.

41 Ibid., hlm. 48-49.

42 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 91; Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, terjemah: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1986), cet. v. hlm. 27-40.

43 Kontowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), hlm. 23.

44 Dudung Abdurrahman, MetodePenelitian, hlm.93; Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, hlm.18.

Tidak ada komentar: