Rabu, 14 November 2007

Sistem Pemerintahan Iran Modern Part 1

BAB I

PENDAHULUAN

Oleh. Akhmad Satori, S.IP., M.SI.


A. Latar Belakang Masalah

Ayatullah al-Uzma Ruhullah Sayyid al-Musawi Imam Khomeini adalah seorang teolog Islam pertama yang mengembangkan dan mempraktikkan gagasan pemerintahan Islam di dunia modern.1 Ia merupakan salah seorang tokoh yang paling penting di balik terjadinya revolusi Iran dan lahirnya negara Republik Islam Iran. Karena peranannya dalam memimpin revolusi Iran itulah, Imam Khomeini kemudian diangkat sebagai pemimpin revolusi Islam, sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi Iran yang disahkan Desember 1979. Tidak salah apabila kemudian Jhon L. Esposito menyebut Imam Khomeini sebagai “living symbol and architect” revolusi Iran.2

Salah satu pemikiran revolusioner yang ditawarkan oleh Imam Khomeini adalah gagasannya mengenai konsep pemerintahan Islam wilayatul faqih.3 Sekalipun tidak dikenal sebagai seorang teoritikus di bidang filsafat politik, namun Imam Khomeini mampu mempraktekkan gagasan pemerintahan Islam yang menempatkan kaum ulama sebagai pemegang kekuasaan di bidang politik maupun agama. Dalam gagasan ini Khomeini menekankan akan perlunya seorang faqih (ulama) untuk memegang kendali pemerintahan sebagaimana halnya Rasullulah memimpin generasi awal umat Islam.4

Sikap permusuhan Ayatullah Imam Khomeini terhadap rezim Pahlevi dan landasan konsep revolusionernya tentang pemerintahan dan negara Islam diekspresikan dalam buku Hukumat-e Islami: Vilayat-e Faqih, yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan menjadi Islamic Government: Guidance by Relegious Expert.5 Tapi istilah Vilayat-e Faqih (Velayat-e Faqih atau Wilayatul Faqih atau Wilayah Faqih) ini ada yang menterjemahkan menjadi "government by the jurisprudent" atau "guardianship of the juristconsul" atau "mandate of the jurist" atau "the purported authority of the jurisprudent".6 Wilayatul faqih mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara dan tujuannya. Wilayatul faqih juga merupakan "cetak biru" bagi reorganisasi masyarakat dan merupakan sebuah "handbook" bagi revolusi Islam Iran.7

Sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang merupakan hasil elaborasi dari gagasannya tersebut (wilayatul faqih), terbukti jauh lebih viable dibanding dengan yang diduga oleh banyak orang sebelumnya. Sistem ini juga telah menjadi topik yang unik dan sangat kontroversial dalam wacana keislaman, khususnya di bidang politik. Ironisnya Republik Islam Iran adalah negara pertama dan satu-satunya di antara negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang berhasil didirikan dalam masa kontemporer, justru ketika banyak kalangan Islam cenderung untuk meninggalkan konsep negara Islam.8

Dalam banyak segi, Republik Islam Iran adalah bentuk pemerintahan yang paling mendekati demokrasi yang pernah dimiliki Iran. Republik Islam Iran berdiri dengan mendapat legitimasi melalui konsensus rakyat dan sebagian besar rakyat Iran tetap mendukung rezim itu. Banyak orang mungkin memperdebatkan dukungan mayoritas rakyat terhadap rezim itu. Namun seperti yang dikatakan Esposito pemerintahan Iran memiliki sifat semidemokratis sangat jelas.9 Di satu pihak, Iran telah memfungsikan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di pihak lain, Iran menikmati pluralisme terbatas. Kebebasan untuk mengungkapkan diri dibatasi oleh ideologi Islam Iran dan kepercayaan bahwa hukum-hukum dan nilai-nilai Islam itulah yang merupakan tuntunan bagi manusia.10

Persoalan yang kemudian menarik dalam sistem pemerintahan Iran ini adalah karena sistem ini mengadopsi dan menggunakan teori "Trias Politika" seperti yang dipraktekkan dalam negara-negara sistem demokrasi. Teori Trias Politika sendiri pertama kali diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755) yang memisahkan kekuasaan (separation of power) menjadi tiga bagian; Pertama, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (application function); Kedua, kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat undang-undang (rulemaking function), dan yang ketiga, kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjucation function).11

Konsep ini merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (atau function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pihak yang berkuasa. Demikian juga konsep wilayatul faqih yang dikembangkan oleh Imam Khomeini, membagi kekuasaan pelaksanaan pemerintahan Islam kepada tiga lembaga negara, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Meskipun demikian menurut Khomeini dalam konsep wilayatul faqih, hanya faqih yang memegang otoritas yang tertinggi, semua kekuasaan bersumber dari kedudukannya sebagai mujtahid tertinggi yang memiliki kewenangan terbesar dalam penafsiran sumber hukum.

Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, kekuasaan lembaga-lembaga negara, baik eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, pada prinsipnya tidak berubah. Mereka memiliki kekuasaan yang mandiri pada fungsi dan kedudukan masing-masing lembaga tersebut, hanya saja dalam hierarki struktur politiknya, posisi ketiga lembaga ini berada di bawah wilayatul faqih. Inilah yang kemudian membedakan pelaksanaan konsep wilayatul faqih ini dengan konsep demokrasi pada umumnya.

Penelitian ini bermaksud untuk meneliti bahwa terdapat perbedaan teorisasi antara konsep demokrasi Barat dengan konsep wilayatul faqih yang ditawarkan oleh Khomeini, dengan melihat interaksi kekuasaan antara lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Iran pada masa modern, persoalan inilah yang menurut peneliti menarik untuk dikaji.


B. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok, yaitu:

  1. Apakah konsep wilayatul faqih menurut Imam Khomeini?

  2. Bagaimanakah aplikasi konsep wilayatul faqih Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Iran modern?

  3. Apa relevansi konsep tersebut terhadap proses moderenisasi pemerintahan dan perkembangan demokrasi di Iran?


  1. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

  1. Mendeskripsikan dan memberikan penjelasan mengenai gagasan Imam Khomeini yaitu konsep wilayatul faqih, yang pengaruhnya dalam wacana politik Islam dimasa-masa mendatang diduga akan cukup besar.

  2. Menjelaskan aplikasi konsep wilayatul faqih Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Iran modern.

  3. Mencoba mengukur seberapa jauh relevansi teori wilayatul faqih terhadap perkembangan demokrasi di Iran.


    1. Manfaat Penelitian

  1. Pada dataran teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemahaman terhadap analisis mengenai sistem pemerintahan Iran modern dengan harapan nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

  2. Dalam dataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai masalah-masalah yang menyangkut sistem pemerintahan dalam Islam.


  1. Tinjauan Pustaka

Keberhasilan Imam Khomeini dalam memimpin revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 yang mengubah sistem politik dan bentuk negara Iran dari monarkhi absolut ke bentuk pemerintahan republik Islam, telah merebut beberapa perhatian para pemikir dan pengamat Politik. Sejak peristiwa ini cukup banyak kajian-kajian kritis yang dihasilkan yang membahas mengenai, revolusi, gerakan politik, dan pemikiran-pemikiran politik Imam Khomaeni.

Tulisan-tulisan tersebut kebanyakan mengulas mengenai revolusi dan gerakan Islam Syi'ah, seperti buku Iran Pasca Revolusi: Sebuah Reportase Perjalanan yang ditulis oleh Syafiq Basri, sebuah buku yang karya Riza Sihabudi yang berjudul Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini.12 Beberapa penulis luar misalnya Hossein Bashiriyeh, yang menulis buku The State and Revolution in Iran 1962-1982, dan Nasir Tamara yang menulis Revolusi Iran. Keempat buku di atas merupakan sebagian dari sekian banyak buku yang membahas mengenai Iran dan situasi politik seputar revolusi.

Kajian yang khusus membahas mengenai Imam Khomeini dan pemikiran politiknya antara lain seperti buku Biografi Imam Khomeini yang ditulis Riza Sihbudi, kemudian Amir Taheri dalam bukunya yang berjudul The Spirit of Allah: Khomeini and The Islamic Revolution, dan buku karya Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, buku ini mengupas riwayat hidup, latar belakang pendidikan, sampai karier politik dan kondisi sosial politik yang terjadi di Iran semasa hidup serta pemikiran politik Imam Khomeini.13

Karya-karya yang mengkritik pemikiran Khomeini juga banyak ditulis seperti, buku Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, yang ditulis oleh Abdul Karim Soroush, seorang cendekiawan muslim “liberal“ Iran Kontemporer, dalam buku ini Sorrous beranggapan bahwa pemerintahan yang didominasi ulama saat ini kurang memiliki basis teoritis.14 Tulisan Abdul Hakim Irfan yang berjudul Nadriyat al-Wilāyat al-Faqih: Dirāsat wa Tahlīl wa Naqd, juga merupakan kajian yang mengkritik pemikiran Khomeini.15

Kajian mengenai konsep wilayatul faqih juga menjadi bahasan pokok yang banyak disoroti baik oleh kalangan peneliti luar maupun dalam negeri. Ahmed Vaezi dalam bukunya yang berjudul Syi'ah Islamic Thought, mengkaji secara umum mengenai pemikiran politik Syi’ah, termasuk di dalamnya kajian mengenai pemerintahan Islam, terutama bab kedua yang secara khusus membahas mengenai wilayatul faqih.16 Yang menarik dari studi ini adalah pada bagian akhir Vaezi dengan lugas menguraikan dikotomi konsep demokrasi Islam yang dituangkan dalam teori wilayatul faqih dengan interpretasi liberal dari sistem demokrasi yang dianut oleh mayoritas negara-negara Barat.

Studi lain yang khusus membahas mengenai wilayatul faqih, ialah studi yang di lakukan oleh Mehdi Hadavi Teherani dengan judul The Theory of Governance of Jurist (Wilayat al-Faqih) yang menelaah secara ringkas konsep negara dari sisi penafsiran atas fondasi gagasan pemerintahan Islam. 17 Kajian ini juga mengupas pendapat-pendapat hukum dan alasan-alasan teologis dari pemerintahan Islam. Fokus masalah yang dikaji dalam studi ini adalah usaha untuk menjawab atas pertanyaan teologis mengenai pemerintahan agama secara umum dan pemerintahan Islam secara khusus dalam hal ini konsep wilayatul faqih.

Beberapa karya lain yang membahas mengenai konsep ini antara lain; artikel yang ditulis oleh Mohsen M. Milani, guru besar University of Florida yang berjudul The Transformation of The Velayat-i-Faqih Institution : From Khomeini to Khemenei, tulisan yang dimuat dalam jurnal The Muslim Word ini mencoba menganalisis transformasi kekuasaan dari Khomeini ke Khamenei dari sudut pandang teori wilayatul faqih. Kajian lain yang membahas konsep wilayatul faqih adalah ditulis oleh Ahmad Mousawwi yaitu Teori Wilayatul Faqih: Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syi'ah, juga tulisan peneliti dalam negeri Riza Sihabudi dalam jurnal Ulumul Qur’an, Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Vilayat-i-Faqih: Sebuah Studi Pengantar. Kedua tulisan di atas juga membahas secara umum konsep wilayatul faqih yang digunakan dalam sistem pemerintahan Iran.18

Dari beberapa kajian di atas penelitian ini mempunyai beberapa kekhususan; Pertama, sejauh pengetahuan penulis belum ada yang secara khusus membahas mengenai konsep hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam teori politik Islam, dalam hal ini telaah terhadap konsep wilayatul faqih sistem pemerintahan Iran. Kedua, penelitian ini akan mengkaji bagaimana mekhanisme interaksi kekuasaan antara kedua lembaga tersebut terutama dalam studi politik dan pemerintahan dalam Islam, karena selama ini kajian hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif yang ada merupakan kajian-kajian dari studi politik dan pemerintahan yang umum atau konvensional.


  1. Kerangka Teoritik

Pemikiran politik Islam kontemporer telah banyak dipengaruhi oleh upaya-upaya rekonsiliasi antara Islam dan demokrasi. Para pemikir Islam yang terlibat dalam perdebatan politik tidak dapat mengabaikan signifikansi dari sistem demokrasi, yang merupakan tema yang masih terus diperbincangkan dalam sistem politik Barat modern.19 Dalam hal ini penting bagi setiap sistem politik alternatif, baik yang relegius maupun sekuler, untuk mengeksplorasi posisinya dalam kaitannya dengan pemerintahan demokrasi. Lalu, bagaimana persinggungan Islam dengan demokrasi?.

Persinggungan yang terjadi antara Islam dan demokrasi sebenarnya merupakan bagian atau konsekuensi logis dari pertemuan antara wacana politik Islam dan wacana politik Barat.20 Persinggungan ini berakar dari pertemuan–pertemuan sejarah yang terjadi selama bertahun-tahun, hingga akhirnya menimbulkan sintesis-sintesis politik yang dalam banyak hal justru saling memperkaya. Apresiasi kalangan Islam terhadap konsep demokrasi, sesungguhnya merupakan fenomena yang tidak berdiri sendiri dan terus berproses.21

Ada pihak yang mengapresiasikan konsep demokrasi tersebut secara positif dan mengambil manfaatnya bagi pembangunan politik Islam. Namun ada juga yang memberikan catatan-catatan tajam.22 Esposito dan Piscatori, memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang menolak konsep demokrasi, aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan, dan aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya.23

Pertama, bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya.24 Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan25.

Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.26

Kendati berbeda akar keberatannya, Thabathabai, seorang mufassir dan filosuf Iran terkenal, berpendapat bahwa Islam dan demokrasi menurutnya tidak bisa dirujukan karena prinsip mayoritasnya. Setiap agama besar, dalam kelahirannya, demikian tegas Thabathabai, selalu bertentangan dengan kehendak mayoritas. Mahluk manusia sering tidak menyukai yang adil dan benar. Ia mengutip ayat: “Seandainya kebenaran itu mengikuti kehendak mereka sendiri pasti akan binasalah langit dan bumi beserta isinya".27 Karena itu, katanya salah jika menganggap tuntunan mayoritas selalu adil dan mengikat.28

Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu 'Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syuraa: 15), persamaan (QS. al-Hujuraat: 13), akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisaa: 58), musyawarah (QS. asy-Syuraa: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi.29

Menurut Maududi suatu negara yang telah didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi bertolak belakang dengan ketentuan-Nya (al-Qur’an dan Hadits), sekalipun konsensus menuntutnya. Tetapi menurutnya bukan tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat legislasi sendiri, semua urusan administrasi dan masalah yang tidak ditemui penjelasannya secara gambling dalam syariah ditetapkan berdasarkan konsensus di antara sesama kaum Muslim yang memiliki kualifikasi. Dalam hal sistem tersebut mengambil jalan tengah (moderat) dan Maududi menyebutnya sistem pemerintahan “Teo-Demokrasi”. Yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi ilahi, suatu sistem kedaulatan rakyat yang dibatasi kedaulatan Tuhan lewat hukum-hukumnya. 30

Khomeini mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya.31 Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara prinsipil menganut sistem demokrasi.

Ketiga, kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran.

Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma' (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah.32

Pendukung-pendukung demokrasi Islam biasanya merujuk pada syura (konsultasi) sebagai ajaran Islam terpenting yang mendukung dan menjustifikasi otoritas rakyat dalam suatu pemerintahan Islam. Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia menulis, bahwa pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang antara lain mencakup; (1) Otoritas legislatif tertinggi adalah Syari’ah, yang merupakan hukum-hukum Ilahiyah dari Islam yang mengatasi semua hukum-hukum. Konteks ini adalah menjadi tanggung jawab ulama untuk mendeduksikan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang terperinci sebagai bimbingan bagi hakim-hakim. Kepala negara dalam pemerintaan Islam adalah pemimpin dari badan eksekutif yang diserahi tanggung jawab untuk mengimplementasikan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu; (2) kekuasaan politik ada ditangan masyarakat (ummah), yang harus mengadopsi bentuk “syura” sebagai suatu sistem konsultasi mandat.33

Pemikir Islam lain seperti Sadek Sulaiman asal Oman, menegaskan bahwa syura dalam Islam termasuk unsur-unsur pokok dalam demokrasi, ia berkata:

“Sebagai sebuah konsep dan sebuah prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi, baik syura maupun demokrasi muncul dari pertimbangan pokok bahwa diskusi kolektif lebih cenderung membawa suatu hasil yang adil dan sehat untuk kepentingan sosial ketimbang preferensi individual”34


Apa yang membuat syura sebagai satu unsur mendasar dari demokrasi dalam Islam, adalah kenyataan bahwa syura merujuk pada salah satu esensi-esensi penting dari demokrasi. Demokasi dalam sejarahnya yang panjang telah mengalami perubahan-perubahan, tetapi masalah-masalah seperti partisipasi publik, peraturan hukum dan pertanggungjawaban dari penguasa dapat dikatakan esensial bagi demokrasi. Kesimpulannya adalah asumsi bahwa sistem politik Islam demokratis, mengandung pengertian bahwa ajaran-ajaran Islam mendukung dan menyetujuai esensi-esensi demokrasi.


  1. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library research), yaitu bahan perpustakaan dijadikan sumber utama. Karena ini penelitian termasuk kedalam kajian tokoh, maka ada dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentang tokoh tersebut dan kedua-duanya digunakan secara bersamaan; pertama, adalah penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut dan yang kedua, adalah penelitian tentang biografi sejak dari permulaan sampai akhir.35 Dalam penelitian ini, fokus penelitiannya mengenai pemikiran tokoh yang diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.


2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis kritis; yang dimaksud dengan deskriptif adalah meneliti gambaran mengenai sifat-sifat atau karakteristik suatu peristiwa, dalam hal ini sifat-sifat yang dikaji adalah sifat-sifat tokoh tersebut dan peristiwa yang terjadi disekitar tokoh yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun analisis kritis adalah analisis mengenai pemikiran tokoh yang kemudian diakhiri dengan penilaian kritis. Dengan kata lain dalam penelitian ini menganalisis pemikiran Imam Khomeini mengenai konsep wilayatul faqih terutama difokuskan pada masalah hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang merupakan aplikasi dari konsep wilayatul faqih Imam Khomeini.


3. Tekhnik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini adalah karya-karya dari Imam Khomeini, yang berupa buku-buku dan tulisan-tulisan dari tokoh tersebut yang kemudian dijadikan data primer, untuk karya utama dari Imam Khomeini di lacak dari tulisannya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, yaitu Islamic Government, dan bahasa Arab, yaitu al-Hukumah al-Islamyyah.36 Untuk membantu pemahaman buku primer tersebut juga digunakan sumber yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu buku Sistem Pemerintahan Islam dan buku Islam and Revolution: Writing and Declarations of Imam Khomeini. 37 Selain itu Kitab Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran terjemahan dalam Bahasa Indonesia juga digunakan dalam penelitian ini. Untuk data sekunder, penelitian ini melacak buku-buku, tulisan dan artikel dan sumber lainnya yang membahas mengenai Imam Khomeini dan pemikirannya.


4. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis; yang dimaksud dengan pendekatan normatif disini adalah suatu usaha untuk menjelaskan pendapat-pendapat dan pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh tersebut, dalam penelitian ini digunakan pendekatan filosofis untuk melihat doktrin-doktrin, pemikiran Imam Khomeini yaitu konsep wilayatul faqih dan aplikasi konsep tersebut dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran khususnya fokus mengenai hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Adapun pendekatan sosio-historis adalah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran pada dasarnya merupakan hasil interaksi dari tokoh dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.38 Dengan demikian pengaruh sosio-politik terhadap pemikiran Imam Khomeini juga ditelaah sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pikirannya.


  1. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan metode analisis isi (content analysis) atau analisis tekstual dan metode interpretasi. Metode analisis isi merupakan metode yang digunakan untuk mengungkapkan isi sebuah buku atau pemikiran seseorang yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis atau pemikiran itu ditelorkan.39 Adapun metode analisis interpretasi yaitu dimaksudkan sebagai upaya tercapainya pemahaman yang benar terhadap fakta, data dan gejala.40


  1. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konsep hubungan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, terutama dalam perspektif teori wilayatul faqih yang dikembangkan oleh Imam Khomeini. Untuk menuju kesana penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Pada bagian pertama yang merupakan bagian pendahuluan dari tesis ini, terlebih dahulu dipaparkan latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu ditetapkan apa yang menjadi masalah utama serta arti penting dan manfaat yang ini ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studi Islam.

Karena penelitian ini bersifat ilmiah maka perlu dikemukakan posisi studi ini di antara studi-studi terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini, selanjutnya dijelaskan juga mengenai kekhususan penelitian ini. Setelah jelas posisi dan kekhususan penelitian ini maka kemudian diuraikan kerangka teori dan metode penelitian yang penyusun pakai untuk menyelesaikan penelitian ini dan diakhiri dengan penjelasan mengenai sistematika pembahasannya.

Selanjutnya pada bab kedua, dipaparkan secara singkat pergolakan sosial dan politik yang terjadi di Iran, sejak dimulainya sejarah Iran moderen hingga peristiwa Revolusi Islam Iran. Selanjutnya ditelaah dan diulas biografi dari Imam Khomeini, penelaahan ini meliputi latar belakang sosial politik, latar belakang pendidikan dan karier politik, corak pemikiran serta karya-karya Imam Khomeini. Setelah itu dibahas mengenai konsep-konsep kunci dari pemikiran politik Imam Khomeini yaitu tentang negara dan kekuasaan, gagasannya mengenai wilayatul faqih, serta pemikirannya mengenai demokrasi.

Dalam bab ketiga, difokuskan pembahasan mengenai gagasan utama dari pemikiran Imam Khomeini mengenai konsep wilayatul faqih dengan di awali dengan memaparkan ikhtisar teori politik yang berkembang di dunia Sunni-Syi'ah, dilanjutkan dengan menjelaskan konsep Imamah atau kepemimpinan Islam khususnya dalam Syi'ah. Pemaparan mengenai konsep wilayatul faqih, menjadi bahasan selanjutnya, dalam subbab ini dijelaskan analisis konseptual, dalil-dalil, dan sejarah perkembangan konsep wilayatul faqih, lalu dilanjutkan dengan penjelasan konsep.

Kemudian pada bab keempat, dipaparkan analisis konsep wilayatul Faqih Imam Khomeini dan aplikasinya dalam dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, hal ini dianalisis agar memperlihatkan bahwa penerapan konsep wilayatul faqih Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Iran modern merupakan salah satu kajian penting dan diharapkan para pembaca memperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya pandangan pengkaji mengenai konsep tersebut. Kesimpulan dari bab ini diharapkan memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini di antara penelitian-penelitian yang lainnya.

Dalam bab terakhir penelitian ini merupakan kesimpulan dari pokok masalah yang telah dielaborasi dan dianalisis secara kritis pada bab-bab sebelumnya dan implikasi penelitian ini, serta saran yang dapat berupa rekomendasi-rekomendasi.











1 Baqer Moin, "Ayatullah Khomeini Mencari Kesempurnaan: Teori dan Realitas" dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 69.

2 John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. Jusup Soe’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 196.

3 Wilayatul faqih adalah pemerintahan oleh faqih, konsep ini merupakan konsep yang ditawarkan oleh Imam Khomeini, yang kemudian diaplikasikan dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, gagasan ini sebenarnya sudah lama ada namun dipopulerkan oleh Imam Khomeini terutama semenjak revolusi Iran tahun 1979. Istilah tersebut berarti "perwalian hakim". Ketika hakim Khomeini mulai berkuasa pada 1979 serta menjadi hakim tertinggi untuk seluruh aspek pemerintahan di Iran, Istilah tersebut menjadi jelas bagi dunia Islam sebagai konsep utuh bahwa perwalian semacam ini merupakan sebuah rute menuju ideal yang didambakan kaum Muslim kontemporer, yakni pemerintahan Islam. Lihat Roy P. Mottahedeh, entri "Wilayah al-Faqih" dalam Jhon L Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid VI, terj. Eva YN (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), hlm. 161.

4 Idris Thaha, "Revolusi Iran dan Imam Khomeini: Wilayat al-Faqih dan Demokrasi", dalam Jurnal Al-Huda (Vol. V, No. 13, 2007), hlm. 47.

5 Empat tema esensi dari buku masterpiece yang terkenal Hukumat-e Islami: Vilayat-e Faqih karya Imam Khomeini tersebut adalah: Pertama, kritik tajam terhadap lembaga monarki; Kedua, bahwa negara Islam, yang didasarkan pada al-Qur'an dan Hadits dan dibentuk setelah umat Islam diperintah oleh Nabi abad ketujuh, bukan merupakan suatu gagasan yang hanya bisa dicapai jauh dimasa depan, tetapi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang praktis yang dapat direalisasikan seumur hidup pada generasi sekarang; Ketiga, bahwa ulama memegang peranan penting dalam kepemimpinan umat Islam; dan Keempat, bahwa umat Islam harus berjuang melawan setiap bentuk penindasan dan tirani. Shahul Bakhas, The Reign of The Ayatullohs (London: I.B. Taurish & Co. Ltd., 1985), hlm. 38-40. lihat juga A. Rahman Zainuddin dan Hamdan Basyar, Syi'ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 62.

6 Ibid., hlm. 62.

7 Shahul Bakhas, The Reign, hlm. 38-40 ; Rahman, Syi'ah, hlm. 62.

8 Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 42.

9 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 97.

10 Ibid., hlm. 97.

11 Lihat dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 151-158.

12 Tulisan Safiq Basri,. Iran Pasca Revolusi, Sebuah Reportase Perjalanan, diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan di Jakarta, 1987. Dalam bukunya yang merupakan hasil penelitiannya di Iran, Safiq lebih banyak menggambarkan situasi politik yang terjadi di Iran pasca terjadinya revolusi 1979; Riza Sihbudi merupakan peneliti pada puslitbang politik dan kewilayahan LIPI. Juga dikenal sebagai kolomnis masalah-masalah timur tengah di berbagai media masa di Indonesia, selain itu tulisannya banyak tersebar di beberapa jurnal, seperti Ulumul Quran, dan beberapa buku telah ia hasilkan seperti buku yang berjudul Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuhnya Syah Hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini. terbitan Pustaka Hidayah.

13 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan ISMES), 1996; Amir Taheri, The Spirit of Allah: Khomeini and The Islamic Revolution, (London: Hutnehinson), 1985; Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, (Bandung: Penerbit Mizan), 2002.

14 Abdul Karim Soroush, Menggungat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, (Bandung: Penerbit Mizan), 2002

15 Abdul Hakim Irfan, Nadriyat al-Wilāyat al-Faqih: Dirāsat wa Tahlīl wa Naqd, (Darul Imar), 1988.

16 Ahmed Vaezi merupakan Profesor di ICAS (Islamic College for Advance Studies) London, Inggris. Karyanya berjudul Syi'ah Islamic Thought diterbitkan oleh ICAS (Islamic College for Advance Studies) London, England tahun 2001. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bshasa Indonesia oleh Ali Syahab dengan judul Agama Politik: Nalar Politik Islam, diterbitkan oleh Penerbit Citra, tahun 2006.

17 Mehdi Hadavi Teherani merupakan Profesor dari International Center of Islamic Studies (ICIS). Studinya berjudul The Theory of Governance of Jurist (Wilayatul Faqih) terbitan ICIS (International Center of Islamic Studies), tahun 2004, yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Rudi Mulyono dengan judul Negara Ilahiyah: Suara Tuhan, Suara Rakyat ditrbitkan oleh Penerbit Al-Huda Jakarta, tahun 2005.

18 Mohsen M. Milani,The Transformation of The Velayat-i-Faqih Institusion: From Khomeini to Khemenei”, dalam jurnal (The Muslim Word, Vol.LXXXII, July-October 1992, No. 3-4 h.175-190); Moussawi, Ahmad, ”Teori Wilayat Faqih: Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syi'ah,” dalam Masalah-Masalah Teori Politik Islam (ed. Mumtaz Ahmad), Bandung: Penerbit Mizan,1993.

19 Vaezi, Agama, hlm. 189.

20 Edward Mortimer, dalam bukunya Islam dan Kekuasaan (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 70.

21 Anas Urbaningrum, Islamo Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 79.

22 Ibid., hlm. 79.

23 Jhon L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994, hlm. 19-21.

24 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm 47-48 ; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.

25 Kamil, Islam, hlm. 48.

26 Ibid., hlm 48.

27 Q.S. al-Mu'minuun: 70-71.

28 Kamil, Islam, hlm. 48 ; Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Pemikiran Islam Modern Menghadapi Abad 20, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 21.

29 Kamil, Islam., hlm 49.

30 Abul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat dari The Islamic Law and Government (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 160-161

31 Yamani, Filsafat , hlm. 141.

32 Kamil, Islam, hlm. 58-59

33 Vaezi, Negara, hlm. 232

34 Ibid., hlm. 233.

35 Operasional metode ini dapat dibaca dalam H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1991), hlm. 34.

36 Buku Islamic Government ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang menggunakan bahasa Persia dengan judul Hukumat-i Islami, di terjemahkan juga secara lengkap dalam bahasa Perancis, Urdu, Arab dan Turki. Kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Anis Maulachela, dan diterbitkan oleh Pustaka Zahra, tahun 2002.

37 Buku ini adalah karya lain dari Imam Khomeini, merupakan kumpulan tulisan-tulisan Imam Khomeini, Islam and Revolution: Writing and Declarations of Imam Khomeini (Trans. Hamid Algar), Berkeley: Mizan Press, 1981.


38 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Lberalisasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).hlm.105.

39 Imam Prayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial dan Agama (Bandung: Rosda Karya, 2003), hlm. 71-73.

40 Lihat Anthony Beker et.al, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.91, dan Syahirin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam (Jakarta: Istiqomah Press, 2006). hlm. 58-59.

1 komentar:

alimostwanted mengatakan...

menurut saya demokrasi merupakan system yang hanya bisa berjalan di wilayah manusia saja. dengan demokrasi seseorang harus menghargai sesama. dan bijak dalam menghadapi pendapat yang berbeda serta berhak dalm mengungkapkan pendapatnya..........kalau kita perhatikan, wilayah tuhan tidak memberikan ruang bagi kita untuk bernegosiasi dalam berpendapat dan hanya ikut aturan tuhan semata. manusia dalam hal ini hanya ikut apa yang sudah ditentukan, jadi kalau ada yang namanya kedaulatan manusia itu wajar saja karena system itu bisa dilaksanakan di kalangan manusia.....percaya atau tidak tuhan berpihak kepada orang yang taat kepadanya. karena kita ciptaanya maka kita harus mengabdi kepada pencipta, kalu bertentangan dengan tuhan maka persiapkan diri anda untuk menuju ke kehancuran. perhatikan negara yang mayoritas beragama dan uyang tidak....maka ditemukan perbedaan yang sangat signifikan dalam menjalani hidupnya....manusia yang beriman kepada tuhan tidak akan takuk dengan intervensi orang lain yang ada hanya menjalankan tugasnya sebgai khalifah tuhan di muka bumi